Sabtu, 26 Mei 2012

RAMALAN ZODIAK MINGGUAN ( 21 Mei – 27 Mei 2012)

Ramalan Bintang Capricorn

Pendiam, Rajin dan Ambisius, Materialis, Gengsi Tinggi, Suka Memerintah, Sukamemperalat Orang Lain.

Tak mudah melupakan kesalahan orang, tapi bukan berarti Anda tidak bisa memaafkan. Yang dibutuhkan hanyalah niat baik. Jika berhasil, hidup Anda pasti terasa lebih lega dan ringan. Keluarga pasti senang merasakan perubahan positif.
Pekerjaan: Lama-lama terbiasa.
Keuangan: Di ujung tanduk.
Asmara: Sedikit masalah.

Pasangan Serasi : Cancer, Taurus, Virgo, Scorpio, Pisces

Pasangan Tidak Serasi : Gemini, Leo, Sagitarius, Aquarius

Hari Keberuntungan : Sabtu

Ramalan Bintang Sagitarius

Berjiwa Petualang, Pandai, Suka Kebebasan, Mandiri, Pandai Berdiplomasi, Berpandangan Luas
Ada saatnya Anda harus menentukan satu di antara beberapa pilihan yang ditawarkan pihak lain. Pertimbangkan baik-baik sebelum membuat keputusan. Soal karier, sebaiknya Anda tak terlalu banyak bicara. Tunjukkan saja kinerja yang sempurna agar para penggosip kena batunya.


Pekerjaan: Tertekan.
Keuangan: Rezeki tak terduga.
Asmara: Lain di bibir, lain di hati.

Pasangan Serasi : Aries, Leo, Libra, Aquarius
Pasangan Tidak Serasi : Taurus, Cancer, Scorpio, Capricorn
Hari Keberuntungan :kamis

Ramalan Bintang Scorpio
Panjang Akal, Pendiam, Pendendam, Gigih, Tekun
Musibah yang menimpa keluarga akhir-akhir ini memang membuat semangat luntur. Daripada bermuram durja, lebih baik ambil hikmah positifnya. Memang tidak mudah, tapi pasti ada sesuatu yang bisa menjadi pelajaran bagi kehidupan rumah tangga Anda berdua.

Pekerjaan: Tak betah.
Keuangan:Panik.
Asmara: Diuji.
Pasangan Serasi : Cancer, Virgo, Capricorn, Pisces
Pasangan Tidak Serasi : Aries, Gemini, Libra, Sagitarius
Hari Keberuntungan : jumat


Ramalan Bintang Libra
Penuh Keraguan, Bimbang, Adil Pandai Bermuka Dua, Memiliki Naluri Yang Kuat, Mempesona
Jangan membuang-buang waktu untuk hal yang tak penting. Lebih baik gunakan energi untuk hal-hal yang memberikan manfaat langsung pada pekerjaan. Salah satunya, membiasakan diri membaca e-mail  dari atasan, rekan kerja, atau klien. Atau, mengurus kredit yang tertunda.
Pekerjaan: Berleha-leha.
Keuangan: Memilih cicilan.
Asmara:  Si Dia butuh simpati.

Pasangan Tidak Serasi : Taurus, Virgo, Scorpio, Pisces
Hari Keberuntungan :minggu

Ramalan Bintang Leo
Suka Memimpin, Dermawan Dan Murah Hati, Penuh Gaya, Aristokratik, Congkak, Percaya Diri Tinggi
Gara-gara masalah asmara, momen yang Anda tunggu-tunggu lenyap sudah. Lain kali, cobalah bagi waktu dengan lebih efektif dan fokuskan pikiran pada tujuan utama. Toh, tak ada yang bisa menolong Anda selain diri sendiri jika nanti Anda mendapat kesulitan.
Pekerjaan: Rajin menabung.
Keuangan: Stabil.
Asmara: Terbawa emosi.

Pasangan Serasi : Aries, Gemini, Libra, Sagitarius
Pasangan Tidak Serasi : Cancer, Virgo, Capricorn, Pisces
Hari Keberuntungan :  Rabu

Ramalan Bintang Cancer

Suasana Hati Tidak Menentu, Sentimentil, Setia, Penuh Perhatian, Sulit Memaafkan, Memiliki Daya Ingat Yang Kuat
Sikap keras kepala Anda sering membuat orang sebal. Padahal teman Anda berniat baik supaya Anda tak terjebak rayuan sales . Demi kebaikan keluarga, dengarkan pendapat orang lain. Uang yang Anda keluarkan tak sedikit, kan?


Pekerjaan:  Siapkan mental.
Keuangan: Mudah percaya.
Asmara: Tak bisa dipaksakan.
Pasangan Serasi : Capricorn
Pasangan Tidak Serasi : Gemini, Leo, Sagitarius, Aquarius
Hari Keberuntungan :Sabtu

Ramalan Bintang Gemini

Lincah, Pandai berbicara, Tidak Stabil, Mudah Berubah-Ubah, Mudah Gugup, Sangat Peka
Keberuntungan menjadi milik Anda minggu ini sehingga segala sesuatu yang diinginkan dapat tercapai. Tapi ingat, sebaiknya jangan terlalu ambisius sebab ternyata salah satu rekan kerja agak iri dengan keberhasilan Anda. Ajak dia bicara sebelum masalah makin melebar.


Pekerjaan: Letupan konflik.

Keuangan:Tunda belanja.
Asmara: Lupa-lupa ingat.

Pasangan Serasi : Aries, Leo, Libra, Aquarius
Pasangan Tidak Serasi : Taurus, Cancer, Scorpio, Capricorn
Hari Keberuntungan :kamis

Ramalan Bintang Taurus


Keras Kepala, Materialistis, Pasif, Ramah & Sabar, Praktis dan Setia, Memiliki Jiwa Toleransi
Meski Anda merasa biasa-biasa saja, sebenarnya banyak orang berharap pada Anda. Jadi, buang ego dan cobalah berempati. Di waktu luang, tekuni hobi yang sudah lama tak terjamah. Atau, ajak pasangan ke tempat pacaran. Hubungan Anda berdua pasti makin segar.


Pekerjaan:Panutan.
Keuangan: Masih terkontrol.
Asmara: Ingin berdua saja.

Pasangan Serasi : Cancer, Virgo, Capricorn, Pisces
Pasangan Tidak Serasi : Aries, Gemini, Libra, Sagitarius
Hari Keberuntungan : Rabu

Ramalan Bintang Aries

Agresif, Energik, Impulsif, Berjiwa Pemimpin, Tidak Sabaran, Egois, Cepat Em
Rasanya waktu bergulir dengan cepat sehingga Anda tergesa-gesa mengejar target. Rencana berlibur pun harus ditunda. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mulai mendelegasikan tugas pada bawahan. Jangan sampai Anda mengecewakan keluarga yang sudah menantikan perjalanan ini.


Pekerjaan: Sibuk.
Keuangan: Membagi rezeki.

Asmara:  Jangan ingkar janji.
Pasangan Serasi : Gemini, Leo, Aquarius, Sagitarius
Pasangan Tidak Serasi : Taurus, Virgo, Scorpio, Pisces
Hari Keberuntungan : Sabtu

Ramalan Bintang Pisces

Memiliki Sisi Manusiawi Yang Besar, Penuh Cinta, Praktis, Suka Mengkhayal
Biaya kebutuhan anak-anak memang besar. Oleh karena itu, tak usah berandai-andai. Kalau memang tak sanggup bekerja sendiri, katakan saja. Lagi pula pasangan siap membantu Anda, kok. Cobalah lebih terbuka dan carilah jalan keluar bersama-sama, Anda pasti lebih tenang.


Pekerjaan: Butuh kerja sama.
Keuangan: Rencana baru.
Asmara: Mencari solusi.

Pasangan Serasi : Taurus, Cancer, Scorpio, Capricorn
Pasangan Tidak Serasi : Aries, Leo, Libra, Aquarius
Hari Keberuntungan : selasa

Ramalan Bintang Aquarius


Tenang, Obyektif (Tidak Memihak), Jenius, Penuh Ide, Cepat Mengerti
Kebiasaan menunda pekerjaan adalah bom waktu yang bisa meledak tanpa diduga. Salah satunya ketika pasangan mulai mengeluhkan jam pulang Anda yang makin larut dan “hujan” kritik dari atasan ketika Anda salah mengerjakan tugas.


Pekerjaan: Dikomplain.
Keuangan: Bisnis mulai berbuah.
Asmara : Pulang tepat waktu.

Pasangan Serasi : Aries, Gemini, Libra, Sagitarius
Pasangan Tidak Serasi : Cancer, Virgo, Capricorn, Pisces
Hari Keberuntungan : minggu

Ramalan Bintang Virgo

Praktis, Analistis, Kritis, Berkepala Dingin Dan Logis, Rajin, Sederhana
Meski mood  sedang bagus tapi Anda harus tetap bijak. Menjaga ucapan agar tidak melukai perasaan orang lain adalah langkah pertama yang bisa dilakukan. Terutama pada keluarga sebab omelan yang Anda anggap biasa saja ternyata menyakiti hati mereka.


Pekerjaan: Diacungi jempol.
Keuangan:Besar pasak daripada tiang.
Asmara:  Introspeksi diri.
Pasangan Tidak Serasi : Aries, Leo, Libra, Aquarius
Hari Keberuntungan : kamis


Selasa, 08 Mei 2012

Cerpen : Kau Tigakan Cintaku

Oleh : Isha Idiaz
“KENAPA mesti sekali lagi abang?” ujar Lydia kepada suaminya. Air mata yang mengalir laju diseka menggunakan hujung lengan baju kurung putih berbunga merah jambu itu.
“Maafkan abang sayang. Abang tak pernah terfikir untuk menduakan sayang,” ujar Latif dengan rasa hiba.
Lydia memalingkan mukanya daripada memandang wajah suaminya. Hatinya kini benar-benar terluka. Tidak mungkin bisa disembuhkan lagi.
“Sayang tak boleh pertimbangkan lagi ke keputusan sayang kali ini? Abang masih sayangkan Lydia,” ujar Latif dengan nada sayu. Hari ini dia dipanggil ke mahkamah syariah apabila Lydia menuntut cerai kepadanya.
Lydia menarik pintu kereta dengan kasar. Perkarangan mahkamah syariah itu ditinggalkan olehnya secepat yang mungkin. Dia tidak mahu keputusannya untuk menuntut khuluk’ daripada Latif kali ini dipengaruhi oleh kata-kata manis daripada Latif lagi.
“Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.”
(H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah )
*****
PETANG itu mereka sama-sama menikmati angin petang di Taman Bukit Layang-Layang. Seingatnya, sudah lama Lydia tidak meluangkan masa berjalan-jalan bersama Latif suaminya itu lantaran kenaikan pangkatnya sebagai penolong pegawai jabatan perkhidmatan veterina benar-benar membuatnya sibuk.
“Sayang sibuk ya sekarang ni?” soal Latif perlahan. Tangannya mengelus lembut jari jemari Lydia.
“Sangat,” jawab Lydia sepatah. Sebuah keluhan dilepaskan. Kepalanya dilentokkan ke bahu Latif.
Latif memandang sekilas wajah Lydia. Lydia sedang memejamkan matanya. Dilihat wajah isterinya itu kelihatan agak pucat. Barangkali Lydia sangat letih sekarang ini.
“Kalau sayang penat, jom kita balik,” usul Latif kepada Lydia. Kasihan pula dilihat isterinya itu.
Memang tadi Lydia yang beria-ia benar mengajaknya ke sini setelah pulang daripada kerja. Katanya sudah lama mereka tidak bersiar-siar bersama. Kerana itu mereka ada di Taman Bukit Layang-layang itu.
“Emm,” hanya itu yang keluar daripada mulut Lydia.
Latif hanya tertawa apabila mendengar reaksi Lydia itu. Sah, isterinya sangat penat dan mengantuk. Dibiarkan suasana sepi di antara mereka hampir sepuluh minit. Akhirnya Lydia membuka matanya.
“Abang masih sayang Lydia?” soal Lydia tiba-tiba.
Latif tersentak mendengar pertanyaan Lydia. Senyuman diukirkan menutup kegusaran hatinya. Anak matanya dilarikan daripada memandang wajah isterinya itu.
“Bagi sepuluh sebab kenapa abang tak sayang Lydia,” ujar Latif cuba melarikan diri daripada menjawab soalan isterinya itu.
Angin petang berhembus kuat. Lydia mengalihkan pandangannya ke atas langit. Dilihat layang-layang berbagai warna, bentuk dan saiz sedang terbang tinggi mendahului antara satu sama lain. Ada juga yang boleh menghasilkan bunyi. Kagum dia melihat bentuk satu layang-layang yang berbentuk seakan-akan dua hati yang bercantum menjadi satu itu.
“Kalau sayang kata sayang, tidak aku terbayang-bayang,” ujar Lydia tenang.
Sebenarnya sudah lama dia mahu menanyakan soalan itu kepada Latif. Hari ini baru dia berpeluang menanyakannya setelah usia perkahwinan mereka menginjak enam tahun.
“Lydia meragui kasih sayang abang pada Lydia?” soal Latif. Suaranya kedengaran bergetar.
“Bukan meragui, sekadar ingin memastikan,” lancar sahaja ayat itu meluncur keluar daripada bibir Lydia.
Dan layang-layang berbentuk hati tadi kini sedang terbang tinggi di atas awan meninggalkan layang-layang lain di bawah yang cuba menyaingi ketinggiannya. Kedengaran jeritan suara daripada bawah yang bersorak apabila ada layang-layang yang terputus talinya direntap oleh layang-layang lain.
“Kita kena saling percaya Lydia,” ujar Latif perlahan.
Lydia sekadar mengangguk mengiakan kata-kata Latif tadi. Pandangannya masih tidak beralih daripada memandang layang-layang berbentuk hati tadi. Membuat Latif juga turut sama memandang ke arah layang-layang itu.
Tiba-tiba muncul sebuah layang-layang bewarna hitam dengan bentuk seolah-olah burung menghampiri layang-layang berbentuk hati tadi. Dengan rakusnya, layang-layang hitam itu merentap tali layang-layang yang ada disekitarnya.
Terlopong mulut Lydia melihatnya. Tidak percaya, dada langit yang tadi dihiasi dengan pelbagai warna, bentuk dan saiz layang-layang kini hanya bersisa tiga layang-layang. Kini hanya tinggal layang-layang merah berbentuk hati, layang-layang hitam berbentuk burung dan sebuah lagi layang-layang lagi bewarna merah hitam berbentuk kumbang.
“Abang, tengok tu. Tinggal tiga je,” ujar Lydia separa menjerit.
Latif yang sememangnya dari tadi memerhati hanya ketawa mendengar ayat yang keluar daripada mulut isterinya itu.
“Abang gelak pulak. Si burung tu jahatlah abang. Habis semua layang-layang lain dia putuskan tali,” komen Lydia lagi.
Dalam tawa yang masih bersisa, Latif memaut bahu isterinya itu. “Layang-layang je pun sayang. Kenapa nak serius sangat ni,” ujar Latif seolah-olah memujuk Lydia.
“Abang tengoklah tu. Sekarang dia kejar si hati tu pulak,” ujar Lydia sambil menudingkan jarinya ke arah layang-layang bewarna hati yang sedang ligat melarikan diri daripada terus menjadi buruan si layang-layang burung hitam.
“Ya, abang tengah tengok ni,” ujar Latif perlahan. Setia melayani Lydia yang kini sedang teruja melihat layang-layang itu.
Dan si burung hitam tadi kini merapati si kumbang merah hitam perlahan-lahan. Mengelilingi si kumbang beberapa kali, hingga pada akhirnya tali mereka terbelit. Namun si burung hitam tidak memutuskan tali si kumbang merah hitam. Membawa si kumbang terbang tinggi bersamanya. Meninggalkan si hati di bawah.
Si hati yang tadinya terbang tinggi kini sudah ketinggalan di bawah. Masih terbang tenang mengikut arah angin. Lydia menarik nafas lega. Namun kelegaannya tidak bertahan lama apabila si burung hitam bersama kumbang merah hitam tadi tiba-tiba terbang rendah menghampiri si hati.
Hati yang tadinya terbang tenang kini kelam-kabut mencari ruang untuk menjarakkan diri daripada si burung. Si burung pula semakin menggila mencari ruang dan peluang untuk merentap tali si hati. Si kumbang yang terbelit sama tidak pula cuba untuk melepaskan dirinya daripada si burung. Akhirnya, dengan kasar, si burung merembat tali si hati sekuat-kuatnya membuatkan si kumbang turut sama merentap tali si hati.
Terbanglah si hati menjunam jatuh ke bumi. Kini di dada langit, terbang megah beriringan si burung hitam dan kumbang merah hitam yang terlilit kemas tali mereka. Kemenangan kini milik mereka.
Muka Lydia sudah mencuka. “Jomlah kita balik abang,” ujarnya serius.
“Eh, abang pula yang kena marah,” ujar Latif cuba berseloroh.
“Jahat sungguh si burung tu. Kesian hati. Si kumbang pulak boleh pulak ikut si burung tu. Tak cuba langsung nak lepaskan diri,” ujar Lydia dalam nada protes.
“Dahlah tu. Layang-layang je pun sayang. Emosi sangat sayang ni.” Latif cuba memujuk. Untuk melegakan rasa marah isterinya itu, Latif membelikan aiskrim kon berperisa vanilla kegemaran Lydia di gerai kecil di Taman Layang-Layang itu dalam perjalanan mereka pulang ke kereta.
Walaupun sudah menikmati aiskrim itu, rasa marah di hati Lydia masih tidak reda. Dia juga tidak tahu kenapa. Latif mengusap-ngusap bahu Lydia untuk menenangkan hati isterinya itu. Mungkin isterinya bisa lebih tenang.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
(Q.S. Ar Rum (30) : 21 )
*****
TELEFON Latif berbunyi lagi. Masuk kali ini sudah tiga kali telefonnya berbunyi menandakan ada pesanan ringkas yang masuk. Lydia merasa tidak sedap hati. Mungkin ada perkara penting yang ingin dikhabarkan oleh keluarga terdekat mereka. Mahu ditunggu Latif pulang daripada kedai memang lama lagilah jawabnya.
Kini, telefon itu berdering lagi. Lydia merapati meja kecil di sebelah katil. Dilihat sekilas telefon bimbit milik suaminya itu. Akhirnya Lydia mencapai telefon itu. Entah mengapa dadanya berdebar-debar apabila melihat ada empat pesanan ringkas baru tertera di skrin telefon bimbit suaminya itu.
Belum sempat Lydia membuka peti simpanan, Latif sudah menjengukkan kepalanya ke dalam bilik dan mengejutkan Lydia yang sama sekali tidak perasan kepulangan Latif.
“Sayang buat apa tu?” soal Latif dengan senyuman di bibir.
“Err.. Tak ada apa-apa. Lydia tengah lap habuk dekat meja ni,” ujar Lydia tergagap-gagap. Jantungnya hampir luruh apabila mendengar suara Latif sebentar tadi. Tangannya mengelap habuk yang ada di meja kecil itu bagi memastikan lakonannya berhasil.
“Owh, kenapa tak guna kain buruk. Guna tangan pulak. Nanti kotorlah tangan si cantik manis abang ni,” ujar Latif seraya menghampiri Lydia. Melihat Latif menghampirinya, pantas Lydia meletakkan kembali telefon bimbit Latif di atas meja kecil itu sebelum Latif betul-betul berada dibelakangnya.
“Alaa, tangankan boleh lap kalau kotor,” ujar Lydia perlahan.
“Meh abang tolong lapkan,” ujar Latif seraya mencapai tangan Lydia dan dilap menggunakan tisu basah.
Lydia hanya tersenyum memandang kelakuan Latif itu. Kadang-kadang lelaki ini begitu romantis terhadapnya tetapi kadang-kadang Lydia meragui keikhlasan hati Latif kepadanya.
Telefon bimbit Latif yang berada di atas meja kecil itu dipandang lagi.
‘Empat pesanan ringkas tadi daripada siapa?’ Persoalan itu bermain-main dibenaknya. Cuba dipamerkan senyuman buat suaminya walaupu hatinya sedang mendidih marah.
‘Aku berlindung diri dengan Allah dari syaitan yg terkutuk, ya Allah, ampunilah dosaku & hilangkanlah kepanasan hatiku & lepaskanlah aku dari syaitan yg terkutuk.”
(Doa ketika sedang marah)
*****
“TASYA rindu abang tak?” soal Latif. Bibirnya mengukir senyum.
“Mestilah rindu. Dah tiga hari abang tak telefon Tasya,” ujar Tasya dalam nada manja. Wayar telefon rumahnya dipintal-pintal.
“Wah, ingatkan tak rindu dekat abang.” Latif berpura-pura terperanjat. Sebenarnya dia tahu Tasya pasti rindukan belai mesra daripadanya.
“Abang tu yang tak rindu dekat Tasya,” rengek Tasya manja. Mahu dipujuk oleh Latif.
“Alaaa, abang bukan tak nak telefon. Tasya pun tau kan Lydia tu macam mana,” ujar Latif sambil melepaskan keluhan kecil.
“Hubungan kita ni macam mana abang?” soal Tasya terus kepada persoalan yang sering kali bermain di mindanya sejak akhir-akhir ini.
“Hubungan kita?” soal Latif inginkan penerangan lebih lanjut. Kepalanya disandarkan ke kepala katil.
“Yalah. Takkan kita nak telefon dan jumpa curi-curi sepanjang masa. Bila abang nak beritahu Lydia pasal sayang?” Tasya bertanya lagi. Dia berharap Latif memahami maksud pertanyaannya itu.
“Nantilah sayang. Sayang sabar ya. Ada peluang nanti abang beritahu Lydia tu,” ujar Latif cuba meyakinkan Tasya kekasih pujaan hatinya kini.
“Abang beritahulah cepat-cepat. Sayang tak sanggup nak berjauhan dengan abang. Tasya nak sentiasa ada di sisi abang” rengek Tasya lagi.
Kembang hati Latif mendengarnya. Jika dengan Lydia, jarang sekali Lydia berada di rumah. Jika ada sekalipun pasti Lydia sibuk menguruskan hal-hal pejabatnya. Jika tidak, pasti Lydia tidur awal kerana keletihan. Jarang sekali Lydia mahu menemaninya.
“Sebab tulah abang sayang sayang. Abang pun dah bosan dengan Lydia tu,” ujar Latif tanpa berselindung.
Tasya sudah tersipu-sipu malu. Kini, rancangannya sudah berjaya. Dia bakal menjadi isteri Latif tidak lama lagi. Hanya perlu menanti waktu beberapa hari lagi sebelum Lydia diceraikan.
Di balik daun pintu, Lydia yang mendengar semua perbualan Latif di kamar tidur mereka terduduk di atas lantai. Dia sangat lemah ketika ini. Apakah benar semua yang didengarinya tadi dituturkan oleh Latif suaminya.
Lydia tidak boleh menuduh suaminya begitu sahaja. Dia harus menyelidiki perkara ini dahulu untuk mengetahui sejauh mana kebenarannya. Walaupun kini hatinya hancur, dia hanya mampu bersabar.
“Dan seorang isteri yang sabar atas budi pekerti suaminya yang buruk akan diberi oleh Allah pahala sama dengan pahala Asiah isteri Firaun”.
(Sabda Rasullulah)
*****
LYDIA terjaga daripada tidur lenanya apabila telefon bimbit milik Latif bergetar di atas meja kecil itu. Lampu tidur yang bewarna kuning malap itu menerangi bilik yang kelihatan samar-samar dalam kegelapan malam. Dapat dilihat jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi.
Lydia melorotkan selimut yang dipakainya. Badannya disandarkan ke kepala katil. Matanya disorotkan ke arah Latif disebelah yang masih lena diulit mimpi. Pantas tangannya menyelimuti badan Latif yang dilihat meringkuk itu. Barangkali suaminya itu kesejukan.
Sekali lagi telefon bimbit Latif bergetar di atas meja kecil itu. Kali ini lebih lama.
‘Mungkin panggilan penting,’ bisik hati Lydia. Lantas, Lydia bangkit dari katil dan kakinya menuju ke meja kecil itu. Skrin telefon bimbit itu masih menyala-nyala menanti panggilannya bersambut.
Hatinya berdebar. Matanya terpaku pada nama yang tertera di skrin telefon bimbit itu. Kakinya kaku. Terasa badannya sejuk tiba-tiba.
‘Aku harus mencari tahu siapa pemanggil ini,’ kata hati Lydia memberi semangat dan keyakinan kepadanya.
Melihat Latif yang masih tidur lena, dengan pantas telefon itu dicapai dan Lydia melangkah dengan cepat ke pintu bilik dan meloloskan diri keluar daripada bilik tidur itu.
Lydia masih menanti pemanggil tadi menelefon kembali di ruang tamu yang hanya diterangi oleh biasan cahaya lampu daripada jalan raya. Dan telefon itu bergetar lagi. Kali ini, tertera dengan jelas nama di skrin. Tasya Darling.
‘Tasya Darling,’ bisik hati Lydia.
Tangannya pantas menekan butang menerima panggilan dan kedengaran suara seorang wanita di hujung talian.
“Abanggggg,” suara itu merengek manja.
Lydia diam. Dia tahu pasti suara itu mahu mendengar suara Latif. Hatinya bergelora. Masih menanti ayat seterusnya daripada wanita itu.
“Abangggg sayang sejuk. Peluk sayang….” Rengeknya lagi.
Kali ini mulut Lydia ternganga luas. Peluk? Peluk siapa? Siapa yang disuruh peluk oleh wanita itu?
“Abang kenapa diam ni. Penat tau sayang tunggu abang peluk sayang. Abang tak telefon sayang pun sebelum tidur tadi,” suara itu berbicara lagi dengan nada menggoda.
Lydia masih mendiamkan diri. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkannya kali ini. Terasa dirinya begitu kerdil saat ini apabila mendapat tahu suaminya bermain kayu tiga dibelakangnya. Malah Lydia merasakan hubungan suaminya dengan wanita ini bukan calang-calang. Sudah pandai berpeluk bagai.
“Abang mengantuk sangatlah tu sampai tak nak cakap dengan sayang. Meh sayang peluk abang. Sayang cium pipi abang ya,” ujar Tasya lagi. Kali ini lebih menggoda.
Kali ini, Lydia sudah tidak mampu lagi untuk menadah telinganya mendengar kata-kata wanita itu. Semakin lama dia mendengar, semakin hancur hatinya. Talian diputuskan.
Lydia bersandar di sofa itu. Mengingat kembali kata-kata wanita tadi, pantas Lydia membuka peti simpanan pesanan ringkas di telefon suaminya. Di lihat satu-persatu pesanan ringkas yang diterima oleh Latif. Hampir semuanya daripada wanita bernama Tasya tadi.
Paling menyayat hati apabila pesanan ringkas ini dibacanya.
‘Tasya sayang abang sangat-sangat. Tak sabar nak tunggu abang ceraikan Lydia tu. Sakit hati Tasya dengar abang cerita dia tak pandai layan makan minum abang. Tak pandai layan keperluan abang. Abang cepat-cepatlah ceraikan dia. Tasya boleh layan abang setiap saat.’
Air mata berjuraian juga akhirnya.
‘Alahai suami. Apa lagi yang tidak dilakukan oleh aku. Makan minummu tiap hari aku sediakan. Pakaianmu tiap hari aku gosok dan gantung rapi. Setiap malam aku mendengar cerita dan setiap keluhanmu yang bagaikan anak kecil. Apa lagi yang kurang dalam hubungan kita ini hingga engkau bercerita tentang keburukkanku kepada orang lain,’ rintih hati Lydia.
Lydia menangis teresak-esak. Tidak dapat di tahan kesedihan ini. Sebenarnya ini bukan kali pertama Lydia mendapat tahu mengenai hubungan mesra Latif bersama wanita lain. Masuk kali ini, sudah lima kali Latif curang kepadanya. Dan setiap kali itu Lydia hanya mampu memaafkan Latif kerana dia benar-benar menyintai lelaki itu. Kasihnya hanya tumpah pada Latif, lelaki yang dicintainya sejak di bangku sekolah dulu.
‘Ingatlah (hai kaumku), terimalah pesanku untuk berbuat baik kepada para isteri, isteri-isteri itu hanyalah dapat diumpamakan kawanmu yang berada di sampingmu, kamu tidak dapat memiliki apa-apa dari mereka selain berbuat baik, kecuali kalau isteri-isteri itu melakukan perbuatan yang keji yang jelas (membangkang atau tidak taat) maka tinggalkanlah mereka sendirian di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Kalau isteri-isteri itu taat kepadamu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka.’
(Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)
*****
“SAYA Latif bin Iskandar dengan ini menceraikan Lydia binti Ismail dengan talak satu,” ujar Latif dengan sebak. Air mata lelakinya gugur juga.
Lydia yang sopan berbaju kurung putih pemberian Latif pada malam pernikahan mereka dahulu turut menitiskan air mata. Usia perkahwinan mereka yang genap tujuh tahun hari ini telah memisahkan mereka hanya dengan satu lafaz cerai daripada Latif.
Lydia masih kelihatan ayu dan sopan saat pertama kali mereka bertemu dibangku sekolah dahulu. Air mata yang menitis di pipi Lydia mengingatkan Latif tentang pertemuan pertama mereka di mana waktu itu juga Lydia sedang menangis kerana telah dibuli oleh rakan-rakan Latif. Latif yang berasa simpati melihat keadaan Lydia pantas menyelamatkan Lydia daripada terus dibuli oleh rakan-rakannya. Namun hari ini, air mata wanita itu gugur kerananya.
Sejumlah wang diserahkan kepada Latif untuk menebus dirinya daripada kekuasaan Latif. Itulah yang disebut khuluk’ ataupun tebus talak. Memandangkan Latif tidak mahu menceraikannya sejak peristiwa malam itu, dan keadaan Lydia yang tidak mahu terus menjadi isteri Latif lagi, maka Lydia telah menuntut talak daripada Latif melalui mahkahmah syariah. Wang yang diserahkan kepada Latif adalah sebagai wang ganti rugi dari buruknya keadaan yang bakal menimpa Latif kerana bercerai dengannya.
Tujuh tahun. Berbagai-bagai ranjau dan duri dalam kehidupan berumahtangga mereka lalui bersama. Segala kesedihan dan kegembiraan mereka kongsikan bersama. Namun, hari ini semua itu sudah berakhir. Semuanya akan menjadi kenangan.
Hanya kerana seorang wanita bernama Tasya, hari ini semuanya berkahir. Wanita itu benar-benar telah membunuh cintanya pada Latif. Baru hari ini Lydia melihat gerangan wanita bernama Tasya itu..
Aku tertipu
Kediamanmu
Yang kuanggap semuanya baik-baik saja
Kutak menyangka
Dibelakangku
Kau tigakan cintaku
Yang hanya kepadamu
Hanya ayat itu yang bermain dibenaknya setelah melihat senyuman yang terpamir di bibir Tasya saat Latif mengucapkan lafaz cerai tadi. Senyuam itu seakan-akan mengejeknya. Namun bagi Lydia kini dia tidak mahu bersengketa. Ini adalah pengajaran buat dirinya.
‘Air yang tenang jangan disangka tidak ada buaya. Suami yang diam jangan disangka tidak bermain kayu tiga,’ bisik hati kecilnya.
“Dan tidak halal bagi kamu mengambil dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya (suami isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
(Al-Baqarah:229)

-Jack- diambil dari :


Cerpen : Bila aku Jatuh Cinta

Oleh : Nurrizzwana Cik Zull
“kenapa awak nangis?” soal satu suara. Namun gadis itu masih leka membenamkan mukanya ke lutut. Sesekali kedengaran esak tangis.
“saya Tanya kan. Jawab la. Kenapa awak nangis?” soal suara itu lagi.
Masih tiada jawapan. Kedengaran suara itu mengeluh.
“saya kira sampai tiga. Kalau awak tak jawab jugak, saya tolak awak masuk sungai depan ni.” Ugut suara itu.
“kenapa awak nangis??” diam. “satu…. dua…. ti…..” belum sempat dia habis mengira, kedengaran satu suara.
“saya punya suka la nak nangis atau tak! Awak sibuk kenapa????” marah budak perempuan itu.
“ha! Ada suara pun. Ingatkan bisu tadi.” Dan dia duduk bersebelahan budak perempuan yang kembali memeluk lutut setelah memarahinya.
“hey. Awak ingat, awak comel ke bila nangis macam ni? Da macam beruk tau tak? Tapi Saya rasa, beruk lagi comel dari awak.” Ujar budak lelaki itu setelah suasana sepi antara mereka.
Dan dia buat muka selamba bila budak perempuan itu menjelingnya.”ea.. pergi main jauh jauh boleh tak? Saya nak nangis ni.”
“tak boleh. Saya nak duduk sini jugak. Sebelah awak.” “eh. Dah la. Awak jangan la nangis. Tak cantik la. Lagipun, saya tak suka la dengan orang yang suka nangis ni. Macam budak budak.”
“kalau tak suka, pergi la tempat lain. Saya tak suruh pun awak duduk sini.” Marah budak perempuan itu sambil menolak nolak budak lelaki disebelahnya. “pergi la! Pergi la!” namun budak lelaki itu hanya membatukan dirinya.
“saya tak nak pergi selagi awak tak berhenti menangis.” “saya nak Tanya. Awak rasa awak comel tak?” laju budak perempuan itu mengangguk.
“lepas tu, budak yang comel ada ke menangis sampai comot? Tengok awak tu. comot dengan hingus.” Budak perempuan itu menjuihkan bibirnya. Dia mengelap hingus menggunakan belakang tapak tangannya.
“eeee! Pengotor. Mama saya kata, mana boleh buat macam tu. nanti kuman. Awak kena balik cuci tangan dengan dettol.”
“dettol?? Benda apa tu? berus basuh pinggan ke?” soal budak perempuan itu.
“berus basuh pinggan??? Bukan la! Itu sabun mandi. Untuk bunuh kuman. Awak tak tengok tv ke?” dan budak perempuan itu menggeleng.
“rumah nenek saya tak ada tv.” Budak lelaki itu mengangguk.
“rumah saya ada. Awak nak datang tengok kat rumah saya tak nanti? Boleh saya tunjuk iklan tu kat awak.” Dan budak perempuan itu mengangguk teruja.
“nama saya Nazrin.. awak?”
” Auni.”
“Nazrin!!!!!” panggil satu suara.
“eh. Mama saya panggil la. Saya kena balik ni. Rumah saya kat situ. Yang dua tingkat tu. awak kat mana?”
“saya kat tepi surau. Rumah warna kuning.”
“ok! Awak jangan lupa cuci tangan dengan dettol tau??” Auni mengangguk walaupun dia sendiri pun tak tahu apa itu dettol.
**************************************************
“selamat pagi kelas. Hari ni kita ada kawan baru. Baru pindah dari johor. Ok Nazrin. Awak kenalkan diri awak dulu.” Ujar guru kelas 3 hijau.
“hai. Nama saya Ahmad Nazrin Hilmi bin Ahmad Bahari. Saya duduk dekat Johor dulu.”
“Auni. Awak tengok tu. dia pandang awak.” Auni yang sedang leka menyiapkan latihan matematiknya mendongak.
“apa?” dan dia ternganga melihat budak lelaki yang berdiri dihadapan kelas. Sementara budak lelaki itu tersenyum melihatnya.
“hai! Kita jumpa lagi. Hari tu tak sempat nak Tanya awak kelas mana.” Ujar Nazrin setelah melabuhkan punggungnya ditempat berhadapan Auni.
“Auni. Awak kenal dia ke?” bisik Sarah. Dan Auni mengangguk laju.
“nie Sarah.” Auni memperkenalkan kawan baiknya yang duduk bersebelahan.
“dan saya Syamil!” budak lelaki depan Sarah menyampuk.
“kau ni sibuk la Mil!” marah Sarah. “mulai harini, awak join kumpulan kami tau?” ajak Sarah. “ada awak, saya, Auni dan Syamil. Kita jadi kawan baik. Sampai bila bila. Sampai besar!” ujar Sarah teruja. Nazrin mengangguk.
*************************
“awak dah cuci tangan awak?” soal Nazrin ketika mereka berempat sedang menjamu selera di kantin sekolah.
Auni yang baru nak suap bekalnya tersentak. Selama ni tak ada sapa pun pernah tegur dia macam tu.
“tangan saya bersih ok?” ujar Auni sambil menyuapkan nasi goreng ke mulut. Tidak mempedulikan bebelan Nazrin.
“mana awak tau? Mama saya kata, sebelum makan, kena basuh tangan. Takut kuman.”
“awak ni penakut la. Kuman awak takut. Gelap awak takut. panjat pokok takut, mandi sungai pun takut. pacat la. Semuanya awak takut.” marah Auni. “awak tu lelaki. Berani la sikit.” Bebel Auni sebelum menyambung makan. Nazrin diam. Tunduk sambil menjuihkan bibirnya.
“tapi masih kena cuci tangan sebelum makan. Nanti sakit perut.”
“saya makan pakai sudu. Kalau awak nak cuci sangat, pergi la.”
“Sarah nak ikut Nazrin.” Ujar Sarah sambil membontoti langkah Nazrin kesingki.
“kenapa kau garang sangat dengan dia. Dia budak pekan la. Mana tau hidup kita ni. Tapi kau selalu tengking tengking dia.”
“biar la.”
“hish. Kau ni. Baru darjah tiga. Dah garang macam ni. Aku tak tau la besar nanti kau macam mana.”
“kau nak tak nasi goreng aku ni? Kalau nak, jangan nak bising dekat aku. Nanti aku tak bagi.” Ugut Auni.
“eleh! Aku pun ada ni. Mak aku masak pagi tadi.” Syamil menunjukkan bekal yang dibawanya.
*********************
“Nazrin!!!! Nazrin!!!!” laung Syamil dari halaman rumah keluarga Nazrin. Muncul seorang wanita muda dari beranda. “makcik, Nazrin ada?”
“Nazrin ke pekan dengan ayah dia. beli basikal. Kenapa?”
“bila Nazrin balik mak cik?”
“petang nanti balik la.”
“nanti bila dia balik, mak cik cakap, Auni nak pindah Kuala Lumpur. Petang nie bertolak. Pukul dua.”
Nazrin termenung sepanjang perjalanan pulang. Sesekali dia tersenyum mengenangkan perbualannya tempoh hari bersama Auni.
“nanti saya beli basikal macam Syamil, saya bawa awak pergi sekolah.” Auni merenung Nazrin. Sesekali dia menyeka peluh yang membasahi dahinya.
” Awak nak bawa saya? Sarah macam mana?” soal Auni.
Diantara mereka berempat, hanya Syamil seorang yang memiliki basikal. Dan selalunya, dia dan Sarah akan bergilir gilir membonceng Syamil pulang dari sekolah.
“Syamil bawa Sarah, saya bawa awak. Nanti cepat sikit kita sampai rumah bila ada dua basikal. Jadi, Syamil tak payah la bawa basikal pelan pelan lagi sebab nak tunggu kita jalan kaki.” Auni mengangguk.
Bijak jugak budak pekan ni.
“ok. Awak beli la basikal. Nanti boleh saya naik basikal awak.” Ujar Auni teruja. Nazrin mengangguk laju.
“kamu kenapa Yen? Dari tadi ayah tengok. Kamu senyum sorang sorang ni.” Soal En Bahari.
“tak ada apa apa yah.” Jawab Nazrin malu malu.
Dalam hatinya, tak sabar nak tunggu sekolah isnin ni. Boleh bawa Auni naik basikal. Eh tak! Tak sabar nak sampai rumah. Nak tunjuk basikal baru dekat Auni.
********
“awak jangan lupa kami tau Auni.” Ujar Sarah sambil teresak esak.
Auni mengangguk. Lama dia diam. Matanya dah puas menangis. Dari semalam lagi. Bila dia mendapat tau, kehadiran ayahnya kekampung kali ini adalah untuk menjemputnya tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Puas dia menolak, menangis. Namun kali ni ayahnya tekad. Dia dan neneknya harus pindah ke kuala lumpur.
“ni untuk awak.” Suara Sarah mematikan lamunannya. “saya tak ada apa apa. Cuma subang ni ja. Awak ambil la kat awak.” Sarah menghulurkan sepasang subang miliknya. Auni menggeleng.
“saya ambil awak punya, awak ambil yang ni.” Dia membuka subang yang dipakainya lalu ditukar dengan subang milik Sarah. “ni kenangan kita.” Sarah mengangguk.
Syamil yang menjadi pemerhati sejak tadi mengalirkan air mata. Dia bakal kehilangan seorang sahabat yang dikenalinya sejak dari kecil.
“aku pun nak bagi barang dekat kau. Ni. Ambil pensil ni. Aku tau, dari dulu kau teringin pensil ni kan?” Syamil menghulurkan sebatang pensel tekan kepada Auni.
“ni pensil kesayangan aku. Aku beli guna duit aku tau. Kau jaga baik baik.” Auni mengangguk.
“Nazrin tak ada?” soal Auni sambil mencari kelibat Nazrin. Syamil menggeleng.
“dia pergi pekan. Beli basikal.” Jawab Sarah perlahan. “tunggu la sampai dia balik. Pujuk la pak cik.” Rayu Sarah. “nanti mesti dia merajuk kalau tau awak pergi tak bagitau dia.”
“Auni. Jom sayang. Kita dah lambat.” Panggil ayahnya. Auni tunduk.
“saya pergi dulu. Awak bagi ni dekat Nazrin. Nie untuk awak.” Auni menghulurkan dua helai sapu tangan miliknya kepada Syamil. “jangan lupa bagi dekat dia tau?” laung Auni sebelum meloloskan diri kedalam kereta.
Auni merenung cincin yang diberi Nazrin dua hari lalu.
“nah! Untuk awak.” Ujar Nazrin sambil menghulurkan satu cincin plastik ungu kepada Auni.
“untuk saya? Apa nie?” soal Auni pelik. Dia menyambut cincin tersebut. dibeleknya cincin berukir bentuk bintang itu. cantik.
“saya main tikam kat kedai cik Mat tadi. Pastu dapat benda ni. Saya mana boleh pakai. Saya bagi awak jela.” Ujar Nazrin ketika mereka berdua dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Auni mengangguk.”ok. saya terima.”
**************************************
Nazrin merenung keluar tingkap.
“kalau kamu nak jumpa Auni tu lagi, kamu belajar la pandai pandai. Nanti boleh sambung belajar dekat kuala lumpur, boleh kamu jumpa dia.” ujar mamanya ketika dia mengusulkan cadangan supaya mereka sekeluarga berpindah ke kuala lumpur.
Nazrin diam. Memikirkan kebenaran kata kata mamanya. Pantas dia mendapatkan mamanya yang sedang menjahit.
“ma! Betul ke, kalau Ayen belajar pandai pandai, boleh pergi jumpa Auni dekat kuala lumpur?” soal Nazrin ingin tahu. Puan Zainab mengusap kepala anak tunggalnya itu. perlahan dia mengangguk.
“kalau Ayen pandai, Ayen dapat la jumpa Auni kat kuala lumpur nanti.”
“Ayen nak cakap dengan Sarah dengan Syamil. Nak suruh diorang pun belajar pandai pandai. Nanti boleh pergi jumpa Auni.” Ujar Nazrin lalu berlari keluar. Puan Zainab menggeleng mengenangkan telatah anaknya itu.
**************************************************
15 tahun kemudian…
“Mil. Saya kat bawak pejabat awak ni. Awak turun la. Kita pergi makan. Ayen pun ada sekali.” Ujar Sarah sebelum mematikan talian telefon.
“aku pergi makan dulu, nanti aku settlekan mana yang tak siap. Kawan aku dah tunggu.” Syamil berlari keluar.
“wei korang!” laung Syamil pada Sarah dan Nazrin yang berteduh dibawah pokok.
“lambatnya awak. Saya dah lapar dah ni.” Sarah memuncungkan mulutnya.
“ollolololo… tengok tu Yen…ada orang bawak ampaian baju la. Boleh gantung tai aku ni.”usik Syamil sambil menarik hidung Sarah. Nazrin ketawa mengekek melihat telatah dua sahabat baiknya itu.
“bestnya kalau Auni ada sekali.” Detik hatinya.
“kau kenapa Ayen? Tiba tiba termenung? Rindu kari kepala ikan kedai mamak tu ke?”soal Syamil sambil berjalan beriringan dengan Nazrin.
“cepat la si kaki pendek!” laung Syamil pada Sarah yang terkedek kedek mengejar mereka.
“tunggu la. Korang ni. Selalu tinggal saya!”
“tu la. Tak sapa suruh pakai kasut tumit tinggi. Lain kali pakai selipar ja bila nak keluar makan.” bebel Syamil.
“aku teringat kat Auni la. Mesti best kan kalau dia ada sekali.” Syamil mengangguk.
“aku pun…dah lama tak jumpa dia kan? Aku ingat dulu, bila aku sambung belajar kat kl ni, aku dapat jumpa dia. macam yang mama kau cakap. Tapi tak pernah jumpa.”ujar Syamil perlahan.
“entah la Mil. Aku pun tak tau nak cari dia kat mana dah. Tak pernah jumpa. Alamat rumah yang dia bagi dulu pun tak ada. Dia dah pindah lepas nenek meninggal.” Nazrin mendongak. Cuba menahan air matanya.
“sabar la Yen. insyaAllah. Nanti mesti kita jumpa punya dia tu.” pujuk Syamil.
Dia tahu, Nazrin rindukan Auni. Dia juga. Dan dia tahu, Sarah lagi rindukan Auni. Mereka membesar bersama. Mana mungkin perasaan itu tak wujud.
“Sarah, awak nak makan apa? Saya ambilkan.” Ujar Syamil sambil meninjau ninjau lauk yang terhidang.
“Saya ambil sendiri. Kalau awak, mesti awak ambil banyak sayur kat saya. Saya tak suka sayur kan.” Rungut Sarah.
Dia mendapatkan Syamil. Meninggalkan Nazrin keseorangan di meja. Nazrin menghirup teh o ais yang terhidang. Matanya meliar keluar kedai. Tiba tiba dia terlihat sesuatu. Seseorang yang teramat dikenalinya. Jantungnya berdegup kencang. Pantas dia berlari keluar. namun hampa. Wajah itu tiada lagi.
“kau kenapa Yen?”soal Syamil setibanya dia dihadapan Nazrin. Dia pelik bila melihat Nazrin berlari keluar ketika dia dikaunter pembayaran. Nazrin menggeleng.
“Nampak macam Auni tadi.” Ujar Nazrin perlahan.
“mana?” soal Syamil sambil memerhati sekeliling.namun tiada sesiapa di kaki lima kedai. “kau terlalu fikirkan Auni ni. Sampai Nampak dia. mana ada dia.” pujuk Syamil. Nazrin mengangguk.
“mungkin.” Nazrin mengeluh. Mereka mendapatkan Sarah dimeja makan.
**************************************
“kak. Lia balik awal tau harini. Nak jumpa kawan kejap.”Auni mengangguk
“asyik balik awal je. Potong gaji la macam ni.” Usik Auni. Dia membetulkan gaun pengantin yang dipakai patung. Azilia tersengih.
“kalau akak potong, siapa nak bayar bil elektrik dengan bil air rumah nanti??” soal Azilia. Dia turut membantu kakaknya.
“Lia la. Potong la duit shopping tu.”
“Ala. Akak ni. Kedekut la.”rengek Azilia. Auni ketawa.
**********
Nazrin mengelap peluh yang membasahi dahinya. “hish. Time sesak macam ni la kereta nak rosak. Time cuti tak nak pulak dia rosak. Tak pasal pasal aku kena balik naik tren.” Rungut Nazrin.
Dia memandang sekelilingnya yang sesak. Hingga dia terpaksa berdiri. Tiba tiba matanya terhenti pada satu raut wajah. Wajah yang amat dikenalinya. Auni! Belum sempat dia ingin menegur, gadis itu pantas turun apabila tren diberhentikan.
“tumpang lalu. Saya nak turun.” Ujar Nazrin sambil meloloskan diri dalam lautan manusia yang memenuhi tren tersebut. dia memerhati sekeliling.
“adoi! Hilang lagi!” namun tak lama. Apabila wajah itu kembali muncul saat Nazrin ingin berpaling. Pantas dia mendapatkan gadis tersebut.
“Auni!” laungnya. Dan gadis itu berpaling. Nazrin tersenyum lebar!
**************************************
“kak, petang tadi kan, masa Lia balik, Lia jumpa seorang lelaki ni. Kat stesen.” “dia panggil Lia, Auni. Lama tak dengar orang panggil Lia dengan nama tu. teringat kat arwah papa. Dia suka panggil Lia Auni.” Ujar Azilia ketika mereka berdua sedang menikmati makan malam.
“ala. Kalau Lia nak sangat orang panggil Lia Auni, nanti akak panggil. Auni!” usik Auni sambil ketawa. Seboleh bolehnya, dia tak mahu adiknya mengungkit soal arwah kedua ibu bapanya itu.
“tak nak la. Tu kan nama akak. Tapi kalau ada yang nak panggil, Lia okay je. Dan bukan akak ye orang tu.” Azilia tersengih.
“akak tau, dia cakap, dia kenal dengan Lia. Tapi Lia sendiri pun tak pernah tau dia siapa kak.” Sambung Azilia lagi.
“nak ngorat Lia la tu. pura pura pulak.”
“entah la kak. Tapi dia Nampak macam jujur. Siap bagitau nama lagi. Kot kot Lia kenal. Nama dia Nazrin.” Auni tersedak. Azilia menghulurkan tisu kepada kakaknya.
“Nazrin?” soal Auni kembali. “dia cakap apa lagi?” soal Auni pantas. Dalam ingatanya, hanya terfikirkan Nazrin kawan baiknya dulu.
“tak cakap apa pun. Dia ketawa bila Lia cakap Lia tak kenal dia. pastu dia cakap, lambat laun nanti, mesti Lia kenal dia punya la nanti.”
Auni mengangguk. ‘tak mungkin la Nazrin yang aku kenal tu.’ detik hatinya.
***********************************
“hai awak.” Tegur Nazrin pada gadis yang baru turun dari tren. Azilia mendongak. ‘lelaki semalam. Apa dia nak?’
“awak nak apa?”soal Azilia pantas. Dipeluk erat beg miliknya. Dia merenung lelaki dihadapannya atas bawah. Dengan kemeja berTai nya, seluar slack hitam. Smart. Dan Azilia terkaku seketika dengan apa yang dilihatnya.
“hai!” panggil Nazrin pada gadis yang seakan akan beku dihadapannya.
“ha. Kenapa?” soal Azilia.
“awak Auni kan?” soalan gadis itu dibiarkan tergantung. Azilia mengangguk.
“ha ah, Auni.. kenapa?” soal Azilia kembali. ‘betul la nama aku Auni. Auni Azilia. Kenapa dengan dia ni? Lain macam ja.’ Detik hati Azilia.
“awak tak ingat saya? Saya Nazrin.” Ujar Nazrin. Azilia diam. lama.
“Nazrin?” soal Azilia kembali. dia menggeleng kepalanya.
“tak pa la kalau macam tu. tapi boleh kita kawan?” ujar Nazrin. Azilia merenung lelaki dihadapannya.
“kan betul cakap kakak. Awak nak mengorat.” Ujar Azilia selamba.
“apa?” soal Nazrin. Rasanya dia dengar apa yang diucapkan gadis ini. Cuma kurang jelas.
“kita kawan?” ujar Nazrin lagi. Akhirnya Azilia mengangguk sebelum berlalu pergi. Nazrin tersenyum.
“mungkin awak tak ingat. Tapi saya akan buatkan awak ingat semua cerita kita.” Nazrin yakin. Itu Auni.
******************************
Nazrin memerhati sekeliling. Sudah lima hari berturut dia jadi penunggu setia disini. Di stesen ini. tempat dimana dia akan bertemu Auni. Namun hari ini wajah itu tiada. Matanya terhenti pada satu susuk tubuh yang sedang menunggu tren. Gadis ayu berskirt labuh dengan t-shirt lengan panjang. Rambutnya yang panjang hanya dibiarkan lepas. dia seakan akan terpaku. Dan bila gadis itu berpaling, dia terdiam. Auni! Dia ingin mengejar. Namun tiba tiba bajunya ditarik. Dan gadis itu pantas menaiki tren yang baru tiba.
“hai awak!” ujar Azilia.
Dia berpaling. Auni dihadapannya. namun siapa yang dilihatnya sebentar tadi? Dia keliru. “awak tengok apa?” soal Azilia sambil memandang ketempat yang dilihat Nazrin sebentar tadi. Nazrin menggeleng.
“jom. Semalam awak tunjuk tempat kerja awak. Jumpa Syamil dengan Sarah. Hari ni saya pulak yang tunjuk tempat saya kerja. Boleh jumpa kakak saya.” Ujar Azilia sambil tersenyum.
“kakak?” soal Nazrin pelik. Sejak bila Auni ada kakak? Dia Cuma cakap dia ada adik perempuan seorang ja.
“ha ah. Kakak saya. Jom la.” Nazrin hanya menurut.
Nazrin merenung papan tanda butik tersebut setibanya mereka dihadapan tempat kerja Azilia. ‘LoveNest Boutique’.
“ni butik kakak saya. Saya kerja sini dengan dia.” ujar Azilia. Dia menarik lengan Nazrin supaya mengikutinya.
“hai kak.” Tegur Azilia sambil memeluk satu tubuh yang sedang mengelap meja. Nazrin berdebar. Namun bila susuk tubuh itu berpaling. Hatinya lega. “awak. Nie kak Eina, pembantu kakak.”
‘pembantu kakak? Maknanya ada lagi seorang yang dia perlu jumpa. Kakak kepada Auni.’ Detik hatinya.
“kak!” laung Azilia kuat.
“bising la budak ni. Nak apa?” soal Auni lalu keluar dari pejabat miliknya.
Nazrin diam. Suara itu. Dan dari ekor matanya, dia Nampak dengan jelas, gadis yang sedang menghampirinya, berskirt labuh. Persis skirt yang dilihatnya di stesen tadi. ‘tak mungkin!’
“Lia nak kenalkan akak dengan kawan yang Lia cerita tu.” suara Azilia kedengaran gembira.
‘Lia????? Siapa Lia?’ Nazrin kalut sendirian.
“kawan yang nak ngorat Lia kat stesen tu ke?” soal Auni. Azilia tersengih.
“kenalkan. Ni Nazrin. Dan ni kakak saya. Auni.” Auni tergamam bila lelaki itu menoleh.
‘Ayen.’ Ujarnya perlahan.
Namun melihatkan raut gembira adiknya, dipendamkan apa yang dirasakannya saat itu. Nazrin merenung gadis dihadapannya. kedua duanya Auni. Tapi mana satu Auni yang dikenalinya sejak kecil? Dia sendiri buntu.
“awak cakap nama kakak awak Auni.” soal Nazrin. Azilia mengangguk.
“ha ah. Kakak saya Auni. Auni Athirah. ”
“awak?”
“Lia.” jawab Azilia pendek.
“tapi kenapa awak cakap awak Auni?” soal Nazrin bengang.
“memang saya Auni pun. Auni Azilia.” Nazrin diam. Auni juga. Azilia jadi pelik. Tadi ok. Tiba tiba jadi senyap dua orang ni.
“saya ada kerja. Saya pergi dulu.”ujar Nazrin sebelum melangkah keluar. Azilia mengejarnya.
“kejap. Awak kenapa? Awak tak suka saya kenalkan dengan kakak saya ke?” soal Azilia. Nazrin menggeleng.
“saya sibuk, saya pergi dulu ok.” Azilia hanya mampu memandang langkah kaki Nazrin yang semakin menjauh.
Auni berpura pura membetulkan gaun pengantin dihadapannya ketika Azilia melangkah masuk.
“pelik la. Tadi ok je. Tiba tiba jadi lain macam.” Rungut Azilia. Auni pura pura tak dengar.
“kenapa Lia?”soal Auni apabila melihat wajah muncung Azilia.
“tah la. Tadi ok je. Tiba tiba Ayen jadi pelik. Jangan jangan dia jatuh hati dengan akak tak? Sebab akak cantik sangat harini.” Usik Azilia sambil ketawa.
“banyak la kamu. Dah, pergi lap habuk kat sana.” Auni pura pura marah.
Dalam hatinya, dia sendiri tidak tenang setelah kejadian sebentar tadi. ‘macam mana nak bagitau Lia yang aku dah kenal Nazrin tu sejak dulu lagi.’
***************************
“la!! Kau cakap jela dengan Lia tu. yang kau tu sebenarnya nak kakak dia. bukan dia. mesti dia paham punya la.” Ujar Syamil selamba. Sarah disebelahnya hanya membisu.
“patutla hari tu bila saya peluk dia, dia macam tak kenal ja. Saya pun pelik juga. Tapi dah Ayen cakap dia Auni. Saya diam jela. Mungkin dia lupa. Tapi…” Sarah bersuara setelah lama membisu.
“entah la. Ayen pun tak pasti. Ingatkan itu Auni. Sebab muka, suara. Hampir serupa. Nama pun sama. Yang berbeza hanya nama belakang.”
“erm, kalau aku pun, boleh salah orang. Nama sama. Muka pun sebijik. Cuma dia tak kenal kita ja. Tapi kalau kau tak suka Lia tu, kau cakap la. Nanti dia terus berharap.”
“aku tak tau macam mana nak cakap. Auni pun macam mengelak bila aku ajak jumpa.”
“awak nak siapa sekarang ni? Auni atau adik Auni?” soal Sarah meminta kepastian.
“Auni.” Ujar Nazrin perlahan.
“dah tu, sekarang, kau telefon, cakap dengan Lia, kau suka kakak dia. habis cerita.” Sarah mengangguk. Mengiakan kata kata Syamil. Betul. Segalanya harus ditamatkan.
******************************
Pintu dikuak. Sarah berdiri memerhati satu susuk tubuh yang sedang leka mengemas. “Auni.” Panggil Sarah perlahan. Auni berpaling. Dia kaku melihat gadis yang muncul dihadapannya.
“Sarah.” Ujar Auni perlahan. pantas Sarah dipeluknya.
“saya rindu awak…” ujar Sarah perlahan.
“saya pun. Saya cari awak kat kampung hari tu. tapi mak awak cakap, awak kerja dekat sini.” Sarah senyum.
“jom kita duduk kat situ.” Pelawa Auni. Mereka menuju ke sofa.
“awak ada jumpa Ayen?Dia cari awak lama dah.” soalan Sarah membuatkan Auni terdiam. Perlahan lahan dia mengangguk.
“jumpa. Dia datang dengan adik saya. Diorang berdua sepadan betul.” Ujar Auni sambil ketawa.
Sarah diam. ‘Auni. Kalaulah awak tau yang Ayen salah sangka antara awak dengan adik awak.’
“awak tau, mama Ayen cakap, kalau kami bertiga belajar pandai pandai, kami boleh jumpa awak kat sini. Pastu bila kami dapat tawaran kesini, Ayen antara orang paling gembira sekali. Sebab dia nak sangat jumpa dengan awak. Tiga tahun kami kat uitm, dia tak pernah lupakan awak. Tiap hujung minggu, mesti dia ajak saya dengan Syamil keluar. dengan harapan dapat jumpa awak. Tapi tak pernah jumpa.” Sarah menyeka air matanya.
“Sampai la satu ketika, dia jumpa awak dalam tren. Saya tak percaya. Tapi dia yakin tu awak. dia silap. Mungkin sebab dia terlalu sangat nak jumpa awak, sampai dia salah orang. Dari raut wajah yang hampir serupa, nama. Buatkan dia betul betul percaya. Itu awak.”
Auni senyum. “saya tengok dia bahagia. Dari cerita Lia, Ayen bahagia sangat bila dengan dia. sebab tu, saya rasa saya tak patut muncul. Biar macam ni. Ayen gembira, adik saya pun gembira.” Ujar Auni perlahan.
“tapi waktu tu dia ingat tu awak. kalau la dia tau tu bukan awak…..”
“biar la. Saya tak kisah. Asalkan adik saya bahagia. Saya sanggup.”
“awak sukakan Ayen?” lama Auni diam.
“soal apa saya rasa, biarkan la. Saya tak nak fikir. Yang penting sekarang adik saya.”
“kak!” laung Azalia apabila pintu butik dibuka. Ditangannya terdapat sebungkus plastik. Pantas Auni menyeka air matanya.
“awak jangan bagi tau adik saya soal Ayen. Dia tak tahu kami kenal.” Ujar Auni. “akak kat sini.”
“Ayen belanja akak jagung. Dia kata kalau Lia suka jagung mesti akak pun suka makan.” Azilia pantas mendapatkan Auni.
“eh Sarah. Buat apa kat sini?” soal Azilia. “akak kenal Sarah?” soal Azilia.
“ha?err..”
“tak. Saja masuk sini tengok pakej yang ada. Sa.. saya nak balik dah ni. Erm, ada kad nama?” soal Sarah. Auni mengangguk sebelum berlalu kepejabatnya.
“Sarah nak kahwin ye? Dengan sapa? Syamil??” usik Azilia. Sarah sengih.
“tengok tengok ja. Ni butik awak?” soal Sarah cuba menutupi gugup.
“tak. Kakak punya. Saya assistant dia ja kat sini.” Ujar Azilia sambil tersenyum.
“ni kad saya, kalau berminat, boleh telefon sini.” Ujar Auni sekembalinya dari pejabat. Sarah mengangguk sebelum berlalu pergi.
“akak kenal Sarah? Tu Sarah. Kawan Nazrin.” Ujar Azilia sambil membuka plastik berisi jagung rebus.
“entah. baru jumpa tadi.” Jawab Auni selamba.
********************************
“kak, Lia selalu Nampak Sarah tu datang butik kita dengan Syamil. Diorang betul betul nak kahwin ke kak?” Auni yang sedang khusyuk menonton televisyen tersentak.
Dia hanya menjungkitkan bahunya. Dia sendiri tak tahu bagaimana nak bagitau Lia yang sebenarnya mereka datang untuk berjumpanya. Bukan untuk menempah pakaian pengantin.
“tadi Lia ajak Ayen singgah butik. Tapi dia tak mahu. Dia tu makin pelik la kak sekarang ni.”ujar Azilia sambil mengunyah kerepek. Matanya tidak lekang dari memandang televisyen.
“Dia malu kot.” Jawab Auni pendek.
“agaknya la kak. Eh kak. Tadi Lia nak Tanya. Tapi lupa. Siapa yang hantar bunga sejambak atas kaunter pagi tadi? Ros merah pulak tu. peminat akak ea?” sekali lagi Auni tersentak.
“entah. salah hantar kot.” Mana mungin dia beritahu bunga itu dari Nazrin. “dah la. Akak nak tidur. Jangan tidur lewat sangat.” Auni melangkah kebilik.
“tak nak cerita pasal peminat dia la tu.” usik Azilia sambil ketawa.
“diamlah kamu!” Auni melempar bantal kusyen keadiknya.
Auni merenung kad kecil berbunga pink itu.
“It’s sad when the people who gave you the best
memories, become a memory….”
ANH
Dia mengeluh. “saya suka awak. tapi maaf. Adik saya lagi penting.” Ujarnya sebelum tertido.
********************************
“awak still makan tak basuh tangan?” soal Nazrin pada Auni yang baru ingin menyuap makanan. Dia diam.
“awak buat apa kat sini? Lia tak ada.” Jawab Auni. Dia berlalu ke pantry.
“saya cari awak. Bukan Lia.” Jawab Nazrin perlahan. namun masih jelas di pendengaran Auni. Dia telan air liur. ‘pergila. Aku tak nak kecewakan Lia lagi. Dia dah banyak menderita.’ Detik hati Auni.
“Auni.” Panggil Nazrin. Dia cuba mencapai lengan Auni. Namun pantas ditepis.
“pergi la. Saya tak nak tengok awak lagi.”ujar Auni.
Ditahannya air mata dari tumpah. Dia perlu kuat. Andai itu yang mampu untuk berikan kebahagiaan buat satu satunya harta yang dia miliki kini, dia sanggup. Walaupun tindakannya itu akan melukakan dirinya sendiri. Itu janji dia untuk Lia pada hari pengebumian kedua ibu bapa mereka lapan tahun yang lalu. Dan dia takkan sesekali mungkiri janji itu.
“tapi awak tau kan. Yang saya sayangkan awak. Lama saya cari awak.” Pujuk Nazrin. Dia tahu. Auni juga punya rasa terhadapnya.
“tak. Awak suka Lia. Bukan saya.”
“hai kak! Eh. Ayen pun ada sekali? Patut la Lia Nampak kereta Ayen tadi.” Ujar Azilia setibanya dia di butik milik kakaknya. “Ayen cari Lia ea?” soal Azilia manja.
“ha? Erm.” Nazrin masih lagi merenung Auni yang membelakangkannya. Namun pantas tubuh itu berlalu ke pantry.
“kejap ye? Lia hantar barang masuk dalam, lepas tu kita pergi makan. Kejap tau.” Azilia berlalu ke pejabat kakaknya. Nazrin mengangguk.
“ok. Jom.” Dia menarik lengan Nazrin. “kak! Lia keluar dengan Ayen kejap tau.” Auni yang baru muncul dari pantry mengangguk lemah. ‘sabar
Auni Athirah! Sabar.’ Detik hatinya.
******************************
Langkah Auni terhenti apabila terlihat kelibat Nazrin yang basah kuyup dihadapannya. hujan yang lebat seakan akan tidak dihiraukannya.
“saya sayang awak. Bukan Lia!” jerit Nazrin. “saya nak awak selama ni. Bukan Lia!!!” jeritnya lagi.
Auni diam. Masih lagi membisu. Nazrin ingin mendapatkan Auni, namun langkahnya terhenti apabila terlihat kelibat Lia dibelakang Auni. Bungkusan dalam pegangan Lia terlepas. Dia tergamam. Lelaki yang dia suka selama ini sukakan kakaknya. Lelaki yang dia suka itu juga lelaki sama yang selama ini kakaknya cerita. Lelaki yang kakaknya suka sejak kecil. Auni berpaling. Dia sendiri pun turut tergamam. Tiba tiba Lia pantas melintas jalan. Dan Auni Nampak dengan jelas sebuah kereta sedang meluncur laju kearah adiknya. Dia melempar payung yang dipegangnya dan meluru kearah Lia. Lia tercampak ketepi dan dia menjerit apabila melihat kakaknya melambung dilanggar.
“Auni!!!!!!!!!!!!!!” jerit Nazrin kuat. Dia pantas mendapatkan Auni yang terbaring kaku.
“kak!! Kakak!” panggil Lia berulang kali.
“ka.. kak..sa..sa..yang Li..Lia..” ujar Auni perlahan.
“to..to..long ja….ga…Li..Lia…”sambungnya lagi sambil memandang Nazrin yang memangkunya. Nazrin mengangguk.
“ye, saya janji. Tapi awak kena kuat. Tahan Auni!!” Ujar Nazrin panik.
“Auni!” panggil Nazrin apabila tubuh itu tidak bergerak lagi. Dia merenung Lia yang sudah meraung memanggil nama kakaknya.
********************************
“abang!! Cepat ambil Atia ni. Lia nak pergi toilet!” laung Azilia apabila pintu butik dibuka.
“ish budak ni. Orang nak dating pun tak boleh.” Rungut Nazrin. Dia mendapatkan Atia yang ditinggalkan di ruang hadapan butik.
“morning anak papa. Dah sarapan dah?” anak gadis berusia tiga tahun itu mengangguk laju. Nazrin ketawa melihat telatah itu. dengan rambut kerinting bertocang dua, anak itu persis Auni. Senyumannya, rambutnya, mata dan mulutnya. Betul betul copy paste Auni waktu kecil dulu.
“Assalamualaikum.” Ujar satu suara apabila pintu dikuak.
“waalaikumsalam, Nazrin berpaling. “Mil!” ujar Nazrin teruja. Dia memeluk bahu sahabat baiknya itu. “hai Sarah!” Sarah senyum. Malu.
“Atia! Mama mana?” soal Sarah lalu mendapatkan Atia dari pegangan Nazrin.
“kat dalam. Sayang!” laung Nazrin kuat.
“ye. Kejap.” Sahut satu suara. Sarah mendapatkan sekujur tubuh yang baru keluar dari bilik belakang.
“Auni!! Lama tak jumpa. Sarat dah ye.” Sarah memeluk Auni lama. Rindu yang teramat sangat. Auni mengosok perutnya.
“lagi sebulan dia pulak muncul.” Ujar Auni sambil ketawa.
“really? Lelaki atau perempuan?”
“lelaki.” Buntang mata Sarah.
“sepasang la nampaknya. Boleh bagi saya satu.” Selorah Sarah. Mereka mendapatkan Nazrin dan Syamil.
“korang tu bila lagi? Asyik berkepit je aku tengok.” Usik Nazrin sambil memeluk pinggang isterinya.
“ada. Ni. Untuk korang. Jangan lupa datang sebulan awal tau.” Syamil menghulurkan sampul surat pada Nazrin. Nazrin dah tersenyum. Tau dah!
“bila ni? Dua bulan depan? maknanya tak sempat la saya nanti.”ujar Auni sedih.
“sempat. Apa pulak tak sempat. Sarah dah kira dah. insyaAllah, sempat.” Ujar Syamil.
“tahniah!” jerit satu suara dari belakang.
“eh! Mak cik ni pun ada.” Seloroh Sarah.
“mestila. Saya kan pelaris butik ni.” Ujar Azilia sambil ketawa.
“jangan lupa datang butik saya.”
“Auni sponsor.” Ujar Sarah lagi.
“nak free saja.” Usik Auni sambil ketawa.
**Finish**
**terima kasih kerana sudi membaca!!!!**
*jom like Nurrizzwana Cik Zull II* =)

 
-Jack- diambil dari :

Cerpen : Kasih Yang Kuharap

Oleh : Wazrul Shah
MATANYA dipejam rapat. Sesekali dia menghembus nafas dengan kuat. Seperti sukar untuk dia mengungkapkan apa yang terbuku di hatinya itu. Adakah rasa hatinya itu benar? Atau sekadar mainan perasaannya sahaja?
Ryea mengatur langkah dengan perlahan-lahan. Dadanya berdebar-debar. Baru sebentar tadi dia menyaksikan sesuatu yang membuatkan hatinya hancur! Dia pasti, apa yang dilihatnya tadi bukanlah ilusi. Dia begitu yakin sekali. Ryea meraup wajahnya berulang kali. Tubuhnya bergigilan kecil akibat terkejut dengan sesuatu yang dilihatnya tadi. Atmanya sesak dihimpit perasaan sedih!
Mengapa lelaki itu sanggup? Mengapa lelaki itu sanggup mendustai janji yang telah dilafazkan sejak enam tahun dahulu? Adakah sesuatu telah berlaku pada lelaki itu? Mungkin dia telah mengalami amnesia? Ryea sukar menafsir rasa hatinya. Yang pasti, hatinya begitu sakit! Sukar untuk diungkapkan kesakitan itu.
Mungkin benar apa yang telah dikatakan oleh Hannie. Lelaki itu tidak lain dan tidak bukan hanya mahu menghancurkan hatinya sahaja. Tiada sekelumitpun rasa cinta yang tersemat di dalam hati lelaki itu buatnya. Mengapa lelaki itu sanggup berbuat begitu? Ryea menahan airmatanya dari berjujuran jatuh. Dia sedaya upaya mengawal perasaan sendunya.
Dia menapak pergi dari pusat beli-belah itu dengan langkah gontai. Dia tidak kuat untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini. Jika benar lelaki itu tidak mencintainya selama ini, mengapa tidak lelaki itu berterus-terang sahaja padanya? Setidaknya tidaklah dia menjadi pungguk yang merindukan bulan. Enam tahun dia memendam rasa, enam tahun dia menunggu kehadiran lelaki itu untuk menjadi teman hidupnya.
Tetapi sekarang? Semuanya hancur sekelip mata. Tanpa sedikit rasa belas, lelaki itu meruntuhkan empangan airmatanya dan menghancurkan tembok-tembok cinta yang telah dibinanya sejak bertahun lalu. Jika sekadar kehadiran lelaki itu untuk mengecewakannya, lebih baik jika lelaki itu tidak pernah hadir langsung di dalam hidupnya. Lebih baik dia memendam rasa sendiri, dan lebih elok jika dia bersendirian tanpa cinta.
“Ryea!” Jeritan seseorang membuatkan Ryea segera mengesat airmatanya yang begitu deras mengalir. Ryea cuba mengukir senyuman plastik, cuba berlagak biasa walaupun hatinya begitu hancur.
“Ryea ke ni?” Lelaki itu bertanya, meminta kepastian. Lambat-lambat Ryea mengangguk. Lebih baik jika dia menghadapi kenyataan daripada lari dari kenyataan itu buat selamanya. Lelaki itu mengukir senyuman lebar.
“Awak dah tak ingat saya? Saya Hydil.. Ingat? Kita sekelas, ingat tak? Maktab Rendah Sains MARA Batu Pahat?” Hydil cuba mengingatkan wanita yang berada di hadapan matanya itu. Ryea mengangguk perlahan. Sudah tentu dia mengingati lelaki itu. Tidak pernah sedetik pun dia melupai nama lelaki itu.
Hydil Rafael. Wajahnya masih sama seperti dulu, tutur katanya juga masih sama seperti dulu. Begitu sopan dan penuh kelembutan. Hydil yang Ryea kenali dulu merupakan seorang lelaki yang begitu menghormati kaum Hawa. Nyata, sikap lelaki itu tidak berubah hingga kini.
“Ingat.. Hmm, awak buat apa kat sini?” Soal Ryea walaupun dia sudah ternampak lelaki itu tadi berjalan beriringan bersama-sama dengan seorang wanita yang begitu anggun parasnya. Hydil tersenyum lebar, tidak pula menjawab soalan yang diberikan oleh Ryea itu.
Kocek seluarnya diseluk. Telefon pintar Galaxy Note dikeluarkan. Hydil memandang wajah Ryea dengan senyuman yang masih tidak lekang di bibir. Ryea terkedu seketika. Jujur, dia terpesona dengan senyuman lelaki itu. Dari dulu hingga sekarang. Mana mungkin dia melupakan senyuman itu? Dan mana mungkin dia mampu melupakan lelaki yang sentiasa membuatnya tersenyum tidak kira betapa besar kesedihan yang dihadapi olehnya.
Hydil mengenyit sebelah matanya kepada Ryea. “Saya rindu betul dengan awak.. Awak dah tukar nombor ya? Mari sini nombor awak, saya nak simpan. Saya harap ni bukan last time kita jumpa…” Hydil tersenyum lagi. Ryea segera memberitahu nombor telefonnnya tanpa ragu.
Seketika dia kembali tersedar. Lelaki itu sudah berpunya! Untuk apa lagi dia mendekatkan dirinya pada lelaki itu? Dia tidak mahu dilabel sebagai wanita perampas! Dia tidak mahu mendapat gelaran itu! Dia rela melepaskan Hydil pada wanita lain seandainya inilah takdir yang telah tertulis buatnya. Jika begini, dia tidak rela.
Hydil melambai-lambai tangannya di hadapan wajah Ryea. Ryea tersentak dari lamunan. Wajahnya kembali serius. “Awak nak buat apa dengan nombor saya? Saya rasa cukup sampai sini aje kita jumpa.. Lepas ni kita tak payah jumpa lagi,” tegas Ryea berkata. Hydil terkedu tatkala mendengar kata-kata yang diungkapkan oleh Ryea itu. Mengapa wanita itu bersikap aneh sekali? Hydil tertanya-tanya sendiri.
“Kenapa ni? Awak tak suka kita jumpa semula?” Hydil mengeluh. Ryea spontan menggeleng.
“Saya bukan tak suka jumpa awak.. Tapi saya tak nak nanti kena fitnah..” Jawab Ryea, jujur. Hydil mengerutkan dahinya. Dia sedaya upaya membaca fikiran Ryea. Ternyata dia gagal. Anak mata Ryea ditatapnya, cuba menyelami isi hati wanita itu. Tetapi Ryea pantas mengelak.
Baru sahaja Ryea hendak melanjutkan kata-katanya, seorang wanita yang mempunyai paras yang begitu anggun dengan spontan memeluk Hydil dari belakang. Ryea mengetap bibir. Perasaan sakit hatinya itu cuba ditahan. Jujur diakui, dia cemburu. Cemburu apabila menyaksikan wanita itu memeluk lelaki yang dicintainya sejak enam tahun dahulu di hadapan matanya sendiri! Siapa yang tidak sakit hati?
Hydil berpaling ke belakang, dan dengan selamba Hydil mencium dahi wanita itu di hadapan khalayak ramai. Sekali lagi Ryea terkedu, dan buat sekali lagi tubuhnya bergigilan kecil. Perlukah dia menunggu lagi disini? Tidak! Langsung tidak perlu! Ryea mahu mengatur langkah pergi, tetapi Hydil pantas menahan.
“Tunggu dulu.. Saya nak perkenalkan awak dengan seseorang ni..” Hydil tersenyum manis. Lesung pipitnya kelihatan.
Ryea mengangguk, tetapi dia menunduk ke bawah. Dia menahan airmatanya yang kian tumpah. Begitu mudah sekali Hydil memungkiri janji yang pernah diungkapkannya dahulu, begitu mudah sekali Hydil menghancurkan hatinya yang selama ini setia terhadapnya. Mudah sekali!
Ryea memandang jam tangannya. Dia cuba mencipta seribu satu alasan bagi melepaskan dirinya dari Hydil dan wanita yang berada disisi Hydil itu. Tetapi dia tidak dapat memikirkan alasan yang munasabah. Sudahnya, Ryea mendiamkan diri.
“Ha, ni saya nak perkenalkan awak pada seseorang. This is my wife, Faten Bazlina..” Hydil tersenyum lagi. Ryea tersentap. Langkahnya terundur beberapa tapak. Dia benar-benar terkejut. Isteri? Sejak dari tadi dia hanya menganggap wanita yang berada di sebelah Hydil itu hanya teman wanitanya. Tetapi sangkaannya jauh meleset. Isteri? Sekali lagi Ryea dihambat rasa pilu.
Faten dengan riang menghulurkan tangannya untuk bersalaman. Ryea menyambut huluran tangan itu dengan perasaan yang hancur. Ketika ini dia tidak dapat menafsir rasa hatinya sendiri. Sedih? Ya, sudah pasti. Kecewa? Sudah pasti.
Akhirnya Ryea menitiskan airmatanya, dia tidak dapat menahan airmatanya dari tumpah ke pipinya. Segera dia menyeka airmatanya itu. Hydil dan Faten memandang antara satu sama lain. Ryea tersenyum, tetapi airmatanya masih lagi menitis.
“Maaf, ada habuk masuk mata saya ni..” Ucap Ryea, berbohong. Faten mengangguk, begitu juga dengan Hydil.
Ryea menyeka airmatanya yang jatuh itu. Dia cuba kelihatan kuat di hadapan Hydil. Dia tidak mahu kelihatan lemah. Dia harus bangkit dari semua ini. Untuk apa dia mengharapkan kasih yang telah tiada? Untuk apa dia menunggu dan terus berharap lagi? Kasih yang diharapkannya selama ini sudah hancur.
“Saya kena cepat ni Hydil.. Next time kalau ada masa, kita boleh jumpa lagi..” Ryea memberi alasan, segera dia bersalaman dengan Faten. Hydil terpaksa akur dengan kenyataan Ryea itu walaupun ada banyak perkara lagi yang mahu dibincangkannya bersama dengan Ryea itu.
****
“HANNIE, betul.. Tekaan kau memang betul..” Ryea menghempaskan tubuh badannya di atas sofa. Hannie yang ketika itu sedang menonton drama di televisyen tersentak. Segera dia berpaling memandang wajah sahabatnya itu.
“Eh Ryea, kenapa ni.. Kenapa menangis?” Hannie mendekati sahabatnya itu, airmata Ryea yang mengalir itu disekanya dengan lembut.
Ryea meraup wajahnya berulang kali. Bagaimana caranya untuk dia menerangkan hal ini kepada Hannie? Bibirnya sendiri sudah kelu untuk menceritakan apa yang berlaku. Dia tidak mampu untuk menyebut nama lelaki itu lagi! Hancur hatinya kerana lelaki itu! Tiada kata dapat dilafazkannya lagi.
“Aku menyesal.. Aku menyesal sebab terlalu berharap pada dia. Sedangkan aku tak tahu sebenarnya dia dah lupakan aku,” di dalam sendu Ryea menuturkan. Hannie jadi sayu. Segera dia memeluk sahabatnya itu. Dia amat memahami rasa hati Ryea ketika ini. Pasti Ryea berasa begitu kecewa. Pasti Ryea berasa keseorangan.
“Dah, janganlah menangis.. Mungkin dia bukan jodoh kau.. Tak apalah, cuba fikir positif.. Mungkin dia tak ada pilihan lain,” Hannie mengusap bahu Ryea dengan lembut. Ryea menggeleng.
“Dia pasti ada pilihan. Aku sebak bila jumpa dia semula dengan isteri dia!” Ryea menangis semahunya. Hannie terpempan. Dia tidak sangka Hydil bertindak sejauh itu. Selama ini dia menyangka Hydil seorang yang setia. Atmanya juga semerta berasa sesak!
Hannie mengetap bibirnya. Berani sungguh Hydil memungkiri janjinya. Berani sungguh Hydil menyakitkan hati sahabatnya. Hannie mengepal penumbuknya. Pelukannya pantas dileraikan.
“Kau beritahu dengan aku, mana si Hydil tu.. Biar aku jumpa dengan dia, sekarang juga!” Hannie tidak dapat mengawal rasa amarahnya. Jika Ryea terluka, dia juga begitu.
Kebahagiaan Ryea, kebahagiaannya juga! Selama ini dia menjadi pendengar setia setiap curahan hati Ryea terhadap Hydil. Hampir setahun sahabatnya itu menjejaki Hydil di Johor Bahru, tetapi usaha sahabatnya itu gagal! Dan kini, ketika sahabatnya sudah bersua muka dengan Hydil, lelaki itu pula melukai sahabatnya! Langsung tidak boleh dimaafkan!
“Kau nak buat apa dengan dia Hannie? Dahlah, dia dah kahwin pun. Biarlah, dah lepas pun.. Aku tahu aku yang salah dalam hal ni. Aku terlalu berharap pada dia. Sedangkan aku tahu janji yang dia katakan dulu tu semuanya janji cinta monyet, tak lebih dari tu.. Aku yang salah dalam hal ni..” Ujar Ryea, sayu. Hannie semerta menjadi sebak. Dia kembali mendekati Ryea, sekali lagi dia memeluk Ryea.
“Listen.. Kau tak salah langsung dalam hal ni. Kau bukan berharap. Kau cuma menunggu dia tunaikan janji. Dalam hal ni, dia yang bersalah sebab dia tak tunaikan janji dia pada kau. Kau langsung tak salah.. So stop blaming yourself! Aku tak sangka Hydil boleh berubah macam tu sekali sejak balik dari Russia..” Keluh Hannie, perlahan.
Ryea diam tidak menjawab. Mindanya menerawang jauh. Perlahan-lahan kenangan ketika dia dan Hydil beberapa tahun kembali bermain di fikiran. Kenangan itu sangat indah, bahkan terlalu manis untuk dikenangkan. Alangkah indahnya andai kenangan itu dapat diputarkan kembali. Tetapi.. Semuanya mustahil. Ryea mengeluh, hampa.
****
Imbas kembali..
1 Jun 2006
RYEA merenung wajah Hydil sepuasnya. Dia tahu, tidak lama lagi dia akan berpisah dengan lelaki itu. Dia tahu tidak lama lagi Hydil akan berhijrah ke Russia bersama-sama dengan keluarganya. Ryea tidak mahu menghalang, langsung tidak terdetik di hatinya untuk melarang lelaki itu untuk pergi ke rantau orang itu. Jika dia berbuat begitu sekalipun, apalah dayanya?
“Ryea, awak tak kisah ke kalau saya pergi?” Hydil bersuara datar. Ryea mengangkat wajahnya. Wajahnya yang cantik itu membuatkan ramai pelajar lelaki yang berada di Maktab Rendah Sains MARA, Batu Pahat meminatinya. Sepasang mata yang cantik, mempunyai darah berkacukan Arab membuatkan Ryea menjadi idaman ramai.
Ryea mengangkat bahunya. “Saya tak tahu nak kata apa.. Saya tahu, kalau saya halang awak pun belum tentu permintaan saya diterimakan? Keluarga awak berpindah ke sana disebabkan awak mendapat tawaran belajar, kan?” Ryea menebak. Lambat-lambat Hydil mengangguk.
Benar apa yang dikatakan oleh Ryea itu, jika Ryea menghalangnya pergi sekalipun Ryea tidak mampu berbuat apa-apa. Hydil buntu. Dia begitu menyayangi Ryea, dan dia mahu Ryea menjadi suri di dalam hidupnya. Buat selamanya.
Tetapi keadaan sekarang ini seakan mendesaknya untuk meninggalkan Ryea. Jika diikutkan hati, mahu sahaja dia meminta orang tuanya meminang Ryea. Niatnya itu dibatalkan apabila memikirkan risiko yang bakal diterima nanti.
“Ryea, saya janji dengan awak.. Saya janji, bila saya balik semula dari Russia tahun 2012 nanti.. Saya akan terus cari awak, kita kahwin ya?” Ucap Hydil, serius. Ryea terkesima. Dia gembira, tetapi dalam masa yang sama dia turut terkedu dengan kata-kata Hydil itu. Adakah Hydil benar-benar serius dengan kata-katanya itu? Ryea tertanya-tanya.
“Kahwin? Awak gila ke Hydil? Awak berjanji macam ni, awak fikir elok sangat ke?” Dengus Ryea, cuba menangkis kata-kata Hydil itu. Hydil menggeleng. Dia memandang wajah Ryea dengan penuh lagak menggoda.
“Saya tahu tak elok, tapi saya serius. Sejak pertama kali kita kenal lagi, saya memang nak jadikan awak isteri saya.. Saya memang berniat nak jadikan awak isteri saya.. Saya tak bergurau, dan saya serius dengan kata-kata saya ni..” Ryea tersentak. Perlahan-lahan dia mengangkat wajahnya memandang raut wajah Hydil yang tampan pada matanya itu. Kening yang lebat, serta kulit yang cerah membuatkan Hydil kelihatan begitu kacak pada pandangan Ryea.
“Jangan buat kerja gila.. Saya tak nak menaruh harapan sangat.. Saya takut nanti saya yang kecewa..” Keluh Ryea. Hydil mendekati Ryea, cuba memegang tangan wanita itu. Tetapi dia pantas tersedar bahawa tindakannya untuk memegang tangan wanita itu salah! Dia dan Ryea tidak mempunyai hubungan yang sah. Hydil segera mengucap panjang.
“Awak tak perlu menaruh harapan pada saya. Awak cuma perlu setia.. Janji pada saya, janji yang awak akan setia dan akan tunggu saya..” Hydil memandang wajah Ryea, sekali lagi. Ryea terkedu.
Nampak gayanya Hydil benar-benar serius. Ryea mengangguk. Jika itu yang dimahukan oleh Hydil, dia akan cuba. Dia akan cuba menjadi seorang pencinta yang setia. Dia akan cuba menantikan kepulangan lelaki itu walaupun hakikatnya payah.
“Saya cuba..” Ryea melafazkan lagi. Hydil tersenyum gembira.
“Saya sayangkan awak Ryea..” Ucap Hydil, penuh romantis.
“Saya pun sayangkan awak, Hydil.” Dengan perlahan Ryea mengucapkan. Dia malu untuk melafazkan kata-kata itu. Tetapi dia tidak mahu menyesal kerana seumur hidupnya dia tidak pernah mengungkapkan rasa sayangnya pada Hydil. Selama ini lelaki itu yang mengejar cintanya, dan selama ini dia tidak pernah membalas cinta dari Hydil itu.
Beberapa bulan sebelum peperiksaan SPM bermula, barulah dia mengatakan bahawa dia mempunyai perasaan yang serupa dengan Hydil. Ketika itu, hanya ALLAH SWT sahaja yang tahu kegembiraan yang dirasai oleh Hydil. Tidak sia-sia usahanya selama tiga tahun itu. Tidak sia-sia dia memikat Ryea.
Dan kini, mereka bertemu buat kali terakhir selepas empat bulan keputusan SPM dikeluarkan. Mereka sama-sama memperolehi kejayaan. Kedua-duanya memperolehi 9A1, dan Hydil mendapat tawaran untuk menyambung pelajarannya di Russia di dalam bidang perubatan. Manakala Ryea pula kurang bernasib baik untuk belajar di luar negara, dia hanya mendapat tajaan untuk belajar di Universiti Malaya.
“Janji dengan saya, awak akan jadi cikgu yang baik!” Hydil tersenyum manis. Ryea mengangguk. Dia bercita-cita untuk menjadi guru. Baginya, cita-cita sebagai guru merupakan satu cita-cita yang murni! Guru menumpahkan ilmu yang ada pada setiap muridnya ibarat lilin. Dan Ryea mahu berbakti kepada anak bangsa.
“Dan awak janji dengan saya, awak akan jadi doktor yang baik! Jangan gatal dengan pesakit perempuan!” Ryea sempat berpesan. Hydil tergelak besar mendengar pesanan Ryea itu. Mana mungkin dia mampu melupakan pesanan itu.
“Kalau saya tergatal pun tak boleh ke?” Hydil cuba mengusik. Ryea mengangkat keningnya. Hannie yang berada lebih kurang satu meter dari mereka berdua pantas menjerit.
“Hoi! Berapa lama lagi aku kena tunggu ni? Perut aku dah laparlah!” Hannie menarik wajah masam. Hydil dan Ryea memandang antara satu sama lain. Mereka sama-sama tergelak.
“Mari sinilah cikgu! Kita pergi makan.. Biar saya belanja..” Hydil memanggil Hannie dengan lembut. Dia sengaja memanggil Hannie dengan panggilan cikgu kerana Hannie juga mempunyai cita-cita yang serupa dengan buah hatinya itu.
Hannie menapak perlahan-lahan, menghampiri dua merpati sejoli itu. Spontan dia menumbuk lengan Hydil dengan kuat. Hydil mengaduh kesakitan sembari menggosok lengannya itu. “Sakitnya.. Ganas betullah awak ni..” Komen Hydil. Hannie ketawa berdekah-dekah.
“Ketawa berdekah-dekah tu sama aje macam kawan dengan syaitan.” Sekali lagi Hannie terkena. Hydil tersenyum semanis gula. Sementara Ryea pula hanya menggeleng kecil melihat telatah Hydil dan sahabat baiknya itu.
Hydil terfikirkan sesuatu. “Oh ya, Hannie.. Nanti bila saya takde kat sini.. Awak tolong tengokkan Ryea ya? Awak kena pastikan dia tak pandang lelaki lain. Awak kena pastikan dia tatap gambar saya aje hari-hari! Okay?”
“Kau nak bayar aku ke? Aku okey aje. Nanti bila kau dah jadi doktor, kau kena kasi rawatan percuma kat aku sebab aku dah sudi nak tengokkan buah hati kau ni..” Hannie mengangkat-angkat keningnya. Hydil menyepetkan matanya, kemudian dia mengangguk dan tersenyum.
Hannie melompat kegirangan. Spontan dia menarik tangan Ryea. “Jomlah! Hydil, kau kata nak belanja makan. Jom.. Aku dah lapar ni..” Hannie segera mendesak. Hydil menahan tawanya. Ryea memandang wajah Hydil, sekali lagi. Tanpa disedari Hydil sempat mengenyitkan sebelah matanya pada Ryea. Ryea tertawa kecil.
“Jom..”
****
“So, that is Ryea yang abang ceritakan selama ni?” Faten mengangkat keningnya. Nada suaranya kedengaran datar. Dia melilit tali leher buat suaminya itu dengan mesra. Hydil mengangguk. Selama ini dia pernah menceritakan mengenai Ryea pada isterinya itu.
“Itulah orangnya.. Macam mana, cantik tak?” Hydil bertanya, dengan nada bergurau.
Faten mengangguk. Dia akui, Ryea mempunyai wajah yang cantik. Dia seakan dapat mengesan sesuatu melalui riak paras wanita itu. Setelah siap melilit tali leher buat suaminya itu, Faten mencapai haruman CK Eternity di almari. Lantas disembur haruman itu pada tubuh badan suaminya.
“Nah! Dah wangi dah dia.. Pergi kerja elok-elok.. Mata tu jaga!” Faten sempat memberi pesan pada Hydil. Buat seketika Hydil tersentak dengan pesanan itu. Perasaan bersalah terus menyelinap ke dalam hatinya. Dia dihambat rasa bersalah! Kata-kata itu pernah didengarinya. Enam tahun lalu. Ya, enam tahun lalu.
“Abang?” Faten melambaikan tangannya di hadapan Hydil. Hydil tersentak. Dia cepat-cepat mencapai briefcasenya dan segera mencium dahi isterinya itu. Setelah isterinya itu menyalam tangannya, Hydil segera melangkah keluar.
Wajah Ryea bermain-main di dalam ruang mindanya. Dia mengeluh sesekali mengucap panjang. Adakah perkara yang dilakukannya ini benar? Adakah dia telah melakukan perkara yang benar? Melukai hati insan yang dia sayangi? Hydil menggeleng. Dia tidak mahu lari dari hakikat bahawa dia masih lagi mencintai wanita itu. Tidak pernah walau sedetik dia melupakan wanita itu. Perkahwinan dia dan Faten juga diatas beberapa sebab. Dia tiada pilihan lain selain menurut kata orang tuanya. Dia tidak mahu ingkar pada arahan orang tuanya.
Pada awalnya dia dan Faten berkahwin hanya sekadar untuk menuruti permintaan orang tua sahaja. Tetapi selepas beberapa bulan, perasaan cinta itu kian hadir. Meski begitu, dia tetap mencintai Ryea. Dia tahu, berdosa jika dia memikirkan tentang wanita lain ketika dia bersama dengan isterinya sendiri. Tetapi.. Dia tiada pilihan.
Bayangan Ryea sukar diusir dari mindanya. Senyuman wanita itu, gelak tawanya benar-benar membuatkan dirinya tidak keruan. Dan sejak dari dulu dia berhajat untuk menyunting wanita itu sebagai isterinya itu. Hydil keliru dengan keputusannya. Mengapa dia bersetuju ketika orang tuanya mahu menjodohkan dia dan Faten? Hydil terdiam.
Peristiwa beberapa bulan yang lalu kembali menerjah. Walau dia tidak mahu mengingati, tetapi mahu tidak mahu dia harus menghadapi jua. Jam tangan yang berada di tangannya itu dipandang lagi. Nafasnya terasa sesak.
****
Imbas kembali..
“IBU dengan ayah tak nak paksa Hydil.. Tapi Hydil tengok sendiri keadaan Faten tu macam mana.. Kesian dia.. Dia kehilangan mama dan papanya serentak. Hydil tak kesian ke?” Puan Eimma bersuara, cuba memujuk anak lelakinya itu.
Hydil terdiam. Dia tidak tahu hendak berkata apa. Faten merupakan rakannya yang sama-sama menuntut di Russia. Tetapi Faten menuntut di universiti yang berbeza di dalam bidang kejuruteraan. Perkenalannya dengan Faten juga secara tidak sengaja. Ketika itu dia yang baru sahaja tiba di Russia itu sesat, mujurlah Faten membantunya.
Jika mahu diikutkan, memang dia terhutang budi dengan wanita itu. Tetapi perlukah hutang itu dibayar dengan perkahwinan? Mengapa dia pula yang terbabit untuk membahagiakan wanita itu? Sedangkan ada insan yang menunggunya di bumi Malaysia? Hydil serba salah.
“Ibu.. Hydil bukan nak bantah cakap ibu dengan ayah.. Tapi Hydil dah janji dengan Ryea..” Hydil mengeluh. Dia tidak pernah bersembunyi mengenai perhubungannya dengan Ryea. Bahkan Puan Eimma tidak pernah melarang anaknya itu berkawan dengan Ryea. Bagi Puan Eimma, Ryea seorang wanita yang punya budi bahasa dan adab yang sopan.
“Ryea? Ibu harap dia pun faham dengan keadaan Hydil sekarang ni.. Ibu betul-betul tak sanggup nak tengok Faten macam tu.. Ini tahun akhir dia.. Hydil sanggup tengok dia gagal dan balik semula ke Malaysia tanpa apa-apa? Sudahlah orang tua dia meninggal dunia..” Puan Eimma tidak meneruskan kata-katanya. Hydil serba salah.
Adakah patut dia menerima sahaja cadangan ibunya itu? Adakah patut dia mengahwini Faten demi kebahagiaan wanita itu? Tetapi bagaimana pula dengan kebahagiaan Ryea? Jika Ryea tahu mengenai perkara ini, pasti hancur luluh hati wanita itu. Sanggupkah dia melukakan hati wanita itu? Hydil dalam dilema.
“Begini aje.. Hydil nikah dulu dengan dia.. Cuba kenali hati budi masing-masing.. Ibu rasa Faten pun tak setuju. Tapi ini untuk kebaikan dia.. Dan untuk kebaikan Hydil juga.. Tak apakan?” Puan Eimma sekali lagi cuba berdiplomasi. Hydil kematian kata. Dia sudah tidak tahu hendak mengungkapkan apa lagi. Apa lagi yang perlu dikatakannya?
“Tapi ibu..” Sebelum Hydil sempat berkata-kata, Encik Azhar sudah memintas.
“Hydil pernah kata yang Hydil nak tolong perempuan yang dalam kesusahankan? Ini waktunya Hydil..” Hydil mengeluh, buat kesekian kalinya. Akhirnya dia mengangguk, bersetuju.
****
“KALAU boleh, cuba huraikan setiap isi yang ada dalam setiap perenggan tu.. Saya beri masa setengah jam untuk siapkan rangka karangan. Apa-apa pertanyaan, boleh jumpa saya kat depan ni,” Ryea memberi arahan pada pelajarnya.
Sudah hampir tiga tahun dia berkhidmat di sekolah ini. Dan dalam tempoh masa itu juga dia berjaya menyandang gelaran guru cemerlang di dalam masa yang begitu singkat sekali.
Baru sahaja Ryea hendak melabuhkan punggungnya di atas kerusi sahaja, telefon bimbitnya berbunyi. Ryea mengerutkan dahinya. Siapa pula yang menelefonnya pada waktu begini? Tidak tahukah dia sedang sibuk mengajar? Laju sahaja dia mengangkat panggilan tersebut.
“Assalamualaikum. Siapa ni?” Soal Ryea, garang.
“Waalaikumusalam. Ryea! Hydil ni.. Boleh kita jumpa?” Pinta Hydil di corong telefon.
Ryea menelan liur. Hydil mahu berjumpa dengannya? Untuk apa? Untuk menyakitkan hatinya sekali lagi? Untuk memecahkan empangan airmatanya sekali lagi? Jika begitu, dia sanggup melarikan diri ke hujung dunia hanya untuk melarikan diri dari lelaki itu! Hatinya sakit. Sangat sakit apabila mengenang kembali babak mesra di antara Hydil dan isterinya itu.
“Jumpa? For what? Saya sibuklah Hydil.. Petang ni ada mesyuarat antara guru-guru.. Post-mortem..” Ryea memberi alasan walau hakikatnya tiada langsung mesyuarat yang akan diadakan pada petang ini. Dia mahu menjauhkan dirinya dari Hydil. Lebih cepat lebih elok.
Hydil mengeluh hampa. Walaubagaimana caranya sekalipun, dia harus berjumpa dengan Ryea. Dia harus memberitahu Ryea tentang semuanya. Dia tahu pasti Ryea sudah berkecil hati. Dan dia tahu pasti Ryea sakit hati apabila memandang dia dan Faten berpelukan tempoh hari.
“Please Ryea, sekurang-kurangnya awak jumpa saya buat kali terakhir.. Please,” rayu Hydil. Ryea terkedu. Dia tidak suka apabila Hydil berkata begitu. Buat kali terakhir? Seakan-akan ada satu makna tersirat yang tersimpan. Adakah lelaki itu mahu pergi jauh? Ah, tapi biarlah.. Untuk apa aku mengenangnya lagi? Ryea bermonolog sendiri.
“Cuba beritahu saya, buat apa awak nak jumpa saya?” Dengan perlahan Ryea bertanya. Dia jadi lemah setiap kali Hydil bersuara begitu. Dia jadi tidak keruan apabila Hydil merayunya sebegitu.
“Ada benda yang saya nak cakap dengan awak.. Ingat.. Tangan awak masih lagi bergari dengan gari saya.. Awak tak boleh lari jauh dari saya..” Lembut Hydil mengucapkan. Ryea tersentak. Dia memandang pergelangan tangan kirinya. Jam tangan yang diberikan Hydil beberapa tahun yang lepas itu masih lagi tersarung kemas. Bahkan masih elok.
“Gari tu? Awak nak saya pulangkan semula? Saya boleh pulangkan semula. Dan saya pun boleh pulangkan perasaan cinta saya pada awak. Semuanya..” Ryea tidak mampu mengawal kata-katanya. Akhirnya kata-kata itu terlafaz juga dari bibirnya. Dalam masa yang sama juga airmatanya jatuh ke pipi.
“Ryea! Jangan macam ni.. Sebab tu saya nak jumpa awak. Please.. Dengar dulu penjelasan saya..” Pinta Hydil lagi. Ryea tidak mahu berkata-kata lagi. Dia segera menutup talian. Dia meraup wajahnya dan menangis semahunya. Tetapi suara tangisannya itu sedaya upaya ditahan. Dia tidak mahu pelajarnya tersalah anggap.
“Cikgu? Kenapa ni cikgu? Cikgu okey?” Soal salah seorang pelajar tingkatan 4 Cekal itu. Ryea menyeka airmatanya lantas mengangguk perlahan.
“Ya.. Saya okey. Dah, sambung kerja semula. Saya nak pergi toilet sekejap..” Ryea meninggalkan beg tangannya dan segera menapak ke tandas guru. Di dalam tandas itu, dia memandang cermin. Pantulan imej wajahnya kelihatan. Ryea cuba bermuhasabah diri.
Perlukah dia menangis sebegini hanya kerana seorang lelaki? Perlukah dia menjadi lemah hanya kerana seorang lelaki? Dan perlukah dia hilang segala keyakinan hanya kerana seorang lelaki? Persoalan itu menganggu mindanya. Hadir bertalu-talu. Jam tangan yang berada di pergelangan tangannya itu dibuka. Kenangan indah ketika menerima jam tangan itu akan terus diingatinya sehingga dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
****
Imbas kembali…
“NAH.. Saya beli dua.. Satu untuk awak, satu untuk saya..” Hydil tersenyum dan menyerahkan jam tangan Santa Barbara itu kepada Ryea.
Jam tangan itu dibeli dengan menggunakan wangnya sendiri. Sementara menunggu keputusan SPM, Hydil sempat bekerja sambilan sebagai seorang jurugambar. Dan dia dapat meraih sedikit pendapatan buat dirinya. Jika diikutkan, orang tuanya langsung tidak membenarkan dia bekerja.
Tetapi disebabkan tidak betah duduk di rumah, Hydil nekad hendak bekerja juga. Dan hasil kerjanya itu diperuntukkan dengan membeli sepasang jam tangan Santa Barbara. Dia mahu menghadiahkan sesuatu yang bermakna buat Ryea. Dia mahu Ryea mengingati saat indah itu selama-lamanya.
“Jam ni bertindak sebagai gari. Awak tak boleh buka gari ni selagi saya tak beri arahan! Kalau awak buka bermakna awak dah tak sayang saya lagi. Dan kalau awak buka bermakna awak dah tak anggap saya istimewa di hati awak lagi.” Panjang lebar Hydil mengucapkan. Ryea hanya tertawa mendengar ucapan Hydil itu.
“Kalau saya mandi takkan tak boleh buka?” Ryea menjungkit keningnya. Hydil menggaru-garu kepalanya.
“Kalau mandi tak apalah! Tapi selepas tu pakai semula. Kalau awak tak pakai semula jam ni dalam masa 12 jam selepas awak buka bermakna awak dah tak cintakan saya lagi.” Hydil mengangkat-angkat keningnya. Ryea mencebik.
“Peraturan jenis apa ni? Langsung tak adil. Peraturan macam ni pun boleh pakai ke?” Ryea memprotes. Hydil ketawa.
“Jam ni juga bertindak sebagai reminder. Jadi each time awak tengok jam ni, awak akan teringat saya.. Saya nak setiap satu jam awak tengok jam ni! Boleh? So, awak tak akan lupakan saya walau satu jam pun!” Hydil bersuara romantis. Ryea menggeleng-geleng kepalanya. Ada sahaja idea gila yang datang dari kepala Hydil itu.
“Macam-macam fungsi eh jam ni? Saya tak sangka awak ni jiwangkan?” Ryea cuba mengusik. Wajah Hydil sudah menjadi merah. Malu dengan kenyataan Ryea itu.
“Mana ada.. Saya cuma jiwang dengan awak aje. Dengan orang lain tak ada.. Sumpah!” Hydil mengangkat telapak tangannya. Ryea ketawa. Sungguh, dia berasa begitu bahagia sekarang ini. Jam tangan yang diberikan oleh Hydil itu segera disarungkan pada tangannya. Dia memikirkan sesuatu. Jika Hydil memberikannya hadiah, dia juga perlu memberikan sesuatu pada lelaki itu.
Ryea mengeluarkan dompetnya. Dia mengeluarkan wang RM50 yang sudah lama tersimpan di dalam dompetnya itu. Begitu pantas sekali dia melipat-lipat wang itu hingga terhasil bentuk hati. Setelah itu Ryea menyerahkan lipatan wang itu kepada Hydil.
“Ini hadiah saya untuk awak.. Duit ni berfungsi sebagai reminder juga. Kalau awak rindu saya, awak cium duit ni.. Dan duit ni merupakan hati saya yang saya serahkan pada awak. Bermakna kalau awak dah tak sayangkan saya lagi, awak perlu serahkan duit ni pada saya..”
“Dah tak sayangkan awak lagi? Tu tak akan terjadi. Never happen. Walau apapun yang berlaku, saya tetap sayangkan awal. Sampai bila-bila.” Kata-kata itu dilafaz seiring dengan semilir angin yang bertiup lembut.
****
RYEA sudah bersedia untuk keluar dari sekolah. Jam baru sahaja menunjukkan ke pukul dua petang. Perutnya tiba-tiba berbunyi. Lazimnya dia akan singgah terlebih dahulu ke Restoran My Friend untuk menjamu selera.
Ryea segera memandu keretanya ke destinasi yang hendak dituju. Kurang lima belas dia sudah tiba di restoran berkenaan. Ryea memarkir keretanya itu dan laju sahaja dia mengorak langkah menaiki tangga.
Sebaik sahaja berada di dalam restoran itu, Ryea segera duduk. Belum sempat dia memanggil pelayan itu, datang seorang wanita duduk di hadapannya. Ryea tersentak. Siapa pula wanita ini? Dia tertanya-tanya.
“Err, maaf. Awak ni siapa ya?” Ryea segera bertanya. Wanita itu hanya tersenyum.
“Saya Faten Bazlina.. Awak tak ingat? Saya isteri Hydil..”
****
Ucapkanlah kasih, satu kata yang kunantikan..
Sebab ku tak mampu membaca matamu.. mendengar bisikmu
Nyanyikanlah kasih, senandung kata hatimu..
Sebab ku tak sanggup mengartikan getar ini.
Sebab ku ragu pada dirimu..
Mengapa berat ungkapkan cinta, padahal ia ada..
Dalam rinai hujan, dalam terang bulan.. Juga dalam sedu-sedan
Mengapa sulit mengaku cinta, padahal ia terasa..
Dalam rindu dendam, hening malam.
Cinta.. Terasa ada..
MALAM itu, Hydil menelefon Ryea sekali lagi. Dia masih belum berpuas hati selagi tidak bersua muka dengan wanita itu. Dia mahu menjelaskan hal yang sebenarnya. Dia sudah tidak mampu menahan gejolak rindu pada wanita itu. Dia sudah tidak mampu memendam perasaannya lagi. Sudah enam tahun dia memendam rasa ini.
Akhirnya Hydil nekad untuk terus ke rumah Ryea. Berbekalkan maklumat yang diterima dari beberapa orang rakannya, Hydil mendapat tahu kini Ryea menetap di Setia Tropika. Malam ini juga dia harus memberitahu wanita itu segalanya. Biar pun kenyataan sebenarnya agak pahit, tetapi lebih elok jika wanita itu tahu mengenai hal ini.
Sampai sahaja di hadapan rumah Ryea itu, Hydil menekan loceng. Lama dia menunggu, tiada balasan. Hydil tidak berputus asa. Alang-alang dia sudah sampai disini, biarlah dia terus menunggu.
Guruh berdentum. Hujan mulai turun membasahi bumi. Tanpa sedar Hydil mengalirkan airmatanya setelah sekian lama dia memendam rasa. Dia rela kesejukan, dan setia menunggu di hadapan kediaman Ryea itu. Hydil tidak berputus asa, dia mahu membuktikan kepada Ryea bahawa dia masih lagi mencintai wanita itu.
Sementara itu, Hannie yang berada di dalam rumah tidak sampai hati melihat keadaan Hydil itu. Dia serba salah. Perlukah dia membuka pintu dan membenarkan Hydil masuk sahaja? Tetapi itu tidak mungkin! Hal itu akan merumitkan keadaan! Ryea yang berada di sebelahnya itu turut memandang.
“Ryea, kau yakin? Kau tak nak jumpa dia?” Soal Hannie.
“Aku belum bersedia. Biarlah dia kat luar tu..” Tanpa rasa kasihan Ryea mengucapkan. Hannie mengeluh perlahan. Apa yang telah merasuk minda sahabatnya itu? Selama ini Ryea begitu mencintai Hydil. Mengapa ketika Hydil menunjukkan rasa cintanya, Ryea menolak pula?
“Kau tak menyesal?” Hannie bertanya lagi.
Ryea tidak mampu menjawab soalan itu. Sekali lagi airmatanya gugur. Baginya permintaan Faten pada petang tadi begitu mustahil untuk dia tunaikan. Adakah perlu dia menurut sahaja kehendak Faten itu? Ryea keliru, malah buntu!
Hydil masih lagi menunggu di luar. Dia menggigil menahan kesejukan. Sesekali dia melaung memanggil nama Ryea. Jika dilihat, kereta milik Ryea berada di halaman rumah. Begitu juga dengan lampu rumah yang terpasang. Hydil yakin Ryea cuba melarikan diri darinya. Tapi.. Mengapa Ryea mahu melarikan diri? Adakah Ryea sudah menganggap dia melupakan janjinya?
“Awak.. Awak baliklah.. Awak nak apa lagi ni? Saya tak nak jumpa awak lagi..” Akhirnya Ryea membuka pintu rumahnya. Hydil menggeleng.
“Saya takkan balik.. Selagi awak tak dengar penjelasan saya..” Tegas Hydil berkata. Ryea membuka pagar rumahnya. Hydil menapak ke dalam kawasan rumah Ryea itu. Tetapi Ryea berada di dalam rumah. Mereka terpisah di balik pintu gril.
“Awak ni degillah! Saya dah kata, saya tak nak dengar penjelasan awak tu.. Saya cuma nak awak bahagiakan isteri awak. Cukup! Tu pun dah memadai..” Kata Ryea lagi. Hydil memandang Ryea dengan riak yang serius.
“Saya nak tunaikan janji saya.. Saya nak jadikan awak isteri saya.. Tolong Ryea.. Tolong jangan buatkan saya serba salah macam ni.. Ni, duit ni.. Awak ingat lagikan?” Hydil menunjukkan lipatan wang RM50 yang berbentuk hati itu kepada Ryea. Ryea menggeleng. Dia membuka jam yang berada di tangannya itu, sekali lagi pantas jam itu diserahkan kepada Hydil.
“Saya dah tak ada perasaan lagi pada awak Hydil. Saya serahkan semula gari awak ni. Dan saya harap awak lupakan aje janji awak. Saya rasa kita memang tak ditakdirkan bersama. Bukan jodoh kita..” Lancar Ryea menuturkan. Hydil menyeluk poket seluarnya. Dia mengeluarkan sebentuk cincin.
“Ryea.. Saya tak peduli apa yang awak nak kata. Tapi saya datang sini tak lain dan tak bukan cuma untuk tunaikan janji saya dan juga disebabkan rasa cinta saya pada awak. Jadi.. Sudi tak awak jadi pasangan yang halal buat saya?” Hydil mengungkapkan kata-kata itu dengan lembut. Seperti biasa.
Ryea menggeleng. Baginya, semua itu sudah terlambat. Kalaulah Hydil melamarnya sebelum dia mengetahui lelaki itu belum berpunya, pasti dia dapat menerima kenyataan. Tetapi sekarang ini dia tidak sukar untuk membuat keputusan. Ya? Atau tidak?
“Beri saya masa.. Saya tak suka buat keputusan dengan terburu-buru.” Ryea mendengus, lantas menutup pintu rumahnya. Membiarkan Hydil berseorangan di luar. Ryea meraup wajahnya. Dia menahan sebak. Disebabkan terlalu sedih, dia terduduk. Suara tangisannya sedaya upaya ditahan. Dia tidak mahu Hydil mendengar tangisannya.
Hannie mendekati Ryea, cuba menenangkan. “Ryea, kalau kau dah bersedia.. Apa kata kau terima aje.. Mana tahu kau boleh dapat kebahagiaan yang kau idamkan selama ni? Bukan ke kau nak jadi isterinya yang sah? Kan dah lama kau tunggu semua ni..” Hannie memujuk.
“Tak boleh Hannie. Aku tak sanggup. Fikirkan tentang isteri dia.. Isteri dia mesti sedih..” Ryea menggeleng-geleng. Hannie mengelus rambut sahabatnya itu perlahan.
“Tapi kau cakap isteri dia yang minta kau terima suami dia, kan? Jadi apa yang kau tunggu lagi? Ryea, ini aje peluang yang kau ada.. Kejar cinta kau atau kau sendiri yang akan rasa kecewa nanti..” Hannie memberi nasihat. Ryea termenung panjang. Wajah Hydil semerta menyinggah benaknya.
Senyuman lelaki itu, lesung pipitnya.. Bahkan segala-gala yang ada pada lelaki itu menarik perhatiannya. Dia tidak dapat menafikan hakikat dia begitu mencintai lelaki itu. Dia tidak mahu kehilangan lelaki itu. Ya! Dia tidak mahu menyesal kemudian hari!
Ryea nekad. Dia bangun semula dan membuka pintu rumahnya. Dilihatnya Hydil masih lagi setia menunggu dirinya di luar rumah. Ryea membuka pintu gril. Perlahan-lahan dia mengangguk. Dia tidak tahu mengapa dia berbuat begitu. Dia berharap Hydil akan memahami gerak lakunya itu.
Hydil menunjukkan cincin itu pada Ryea, dan mengangguk-angguk. Meminta kepastian dari Ryea. Dan buat kesekian kalinya Ryea mengangguk, bersetuju. Tanpa berlengah Hydil terus melakukan sujud syukur di situ juga. Langkah seterusnya, dia harus meminta kebenaran dari isteri pertamanya. Semoga semuanya berjalan dengan lancar.
****
“AKU terima nikahnya Ryea Farhanah binti Hazfirul dengan mas kahwin dua puluh dua ringgit setengah tunai.” Dengan sekali lafaz, Ryea sudah sah menjadi milik lelaki bernama Hydil Rafael. Setelah itu masing-masing membaca doa. Faten tidak lepas mengucapkan rasa syukurnya ke hadrat Illahi. Dia tidak mempunyai apa-apa masalah berkaitan perkahwinan ini.
Bahkan dengan rela hati, dia membenarkan suaminya untuk berkahwin lagi. Tetapi hatinya masih juga terasa pedih. Pedih apabila mengenangkan dia kini berkongsi kasih sayang bersama-sama dengan wanita lain. Pedih apabila mengenangkan suaminya kini menjadi hak milik wanita yang lain juga. Tetapi apa yang lagi yang diharapkannya? Hanya itu.. Hanya itu sahaja.
“Faten, jom ambil gambar sekali..” Ryea mengajak madunya itu untuk bergambar bersama. Faten menurut sahaja.
Setelah semuanya telah selesai, Hydil menggengam erat jemari kedua-dua isterinya itu. “Abang janji akan cuba berlaku adil selagi abang masih hidup. InsyaALLAH.” Ucap Hydil. Ryea mencebik.
“Sekali lagi abang berjanji. Jangan berjanji kalau susah untuk ditepati..” Ryea mengkritik. Hydil tertawa. Spontan dia mencium pipi isterinya itu di hadapan umum.
“Abang janji dengan Ryea, dan sekarang abang tepatikan? Abang tak mungkir janjikan? Faten, abang ada mungkir janji ke?” Hydil memeluk pula isterinya yang pertama itu. Faten tergelak lantas menggeleng.
“Abang takde mungkir janji. Tapi abang ada lupa janji abang! Abang janji nak bawa Faten pergi Pulau Tioman, kan?” Ryea mengenyit matanya pada Faten. Faten mengangguk, mengiakan.
“Yang tu abang ingat.. Cuma abang takde masa lagi sekarang ni. Eh, housemanship training abang belum habis lagi eh.. Jadi, faham-fahamlah..” Hydil mengangkat kedua-dua keningnya serentak. Ryea mencubit lengan suaminya itu dengan kuat.
“Mengada-ngada abang ni. Dahlah, jom balik..” Pinta Ryea. Hydil memandang isterinya itu dengan pandangan mata yang nakal. Seakan tersirat sesuatu melalui pandangan matanya itu.
“Takkan dah tak sabar? Awal lagi ni sayang..” Hydil mencubit pipi isterinya itu. Wajah Ryea semerta menjadi merah apabila diusik sebegitu. Sementara Faten pula memalingkan wajahnya ke arah bertentangan. Dia pula jadi segan apabila mendengar usikan Hydil itu.
“Apa abang ni.. Tak malu betul.” Ryea memarahi suaminya. Hydil tergelak besar.
“Nak malu apa.. Kan hubungan kita dah halal..” Hydil mengenyit sebelah matanya pada Ryea. Ryea segera melangkah ke arah kereta. Hydil cuba mengejar tetapi Faten sempat menahan.
“Abang, malam ni Faten balik rumah ibu ya? Biarlah abang dengan Ryea luangkan masa bersama malam ni.” Ujar Faten, lembut. Hydil mengangguk. Wajah isterinya itu dipandang lama.
“Faten.. Boleh abang tahu.. Kenapa senang aje Faten berikan abang kebenaran berkahwin lagi? Faten tak marah? Faten tak rasa cemburu?” Hydil cuma menafsir isi hati isterinya itu. Faten menggeleng, seraya tersenyum manis.
“Kalau untuk kebahagiaan abang, Faten tak kisah..” Dan kata-kata itu membuatkan Hydil dipagut rasa sayu. Begitu besar sekali pergorbanan isterinya itu padanya. Hydil memeluk Faten dengan erat, buat seketika dia mencium dahi isterinya itu. Lama.
“Terima kasih untuk semua ni Faten. Abang sayangkan Faten..” Ucap Hydil, ikhlas. Faten hanya mengangguk.
****
Deras hujan yang turun
aku menangis memeluk bayangmu
derai airmataku membasuh hati
terluka kau tinggalkan aku
cinta putih yang kan kau beri
namun tak sempat kau ungkapkan
mengisi kehampaan hatiku disini
sebening embun pagi
luruh menetas di dedaunan
ku tangisi kepergianmu cinta
JAM sudah menunjukkan ke angka dua pagi. Ryea memandang jendela. Dia memandang suaminya yang sedang tidur itu. Tidak sangka, dia kini sudah menjadi isteri Hydil yang sah! Dan dia tidak sangka kini dia berada bersama-sama dengan Hydil, cinta hatinya sejak di sekolah dahulu.
Ryea memeluk suaminya itu dengan erat. Betapa dia menyayangi Hydil, hanya ALLAH SWT sahaja yang tahu. Dan saat berada disisi Hydil, dia berasakan dunianya berhenti berputar. Tetapi Ryea hairan, mengapa Faten memintanya untuk menerima Hydil sebagai suami? Ryea tertanya-tanya. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi.
Ryea mengalihkan lengan suaminya itu dengan perlahan-lahan, dia bergerak ke sebuah almari. Ada sesuatu yang membuatkan dirinya tertarik untuk melihat isi di dalam almari itu. Tiba-tiba sahaja telefon bimbit suaminya itu berdering. Ryea mengurut dadanya. Dia berpura-pura menuju ke tandas.
Hydil mengangkat panggilan tersebut dan dengan tergesa-gesa dia menukar pakaiannya. Ryea hanya diam tidak bereaksi. “Abang, nak pergi mana?” Soal Ryea pada suaminya itu. Hydil tersenyum.
“Abang ada on-call ni. Ryea tak apa ke duduk rumah seorang? Ke nak abang telefon Faten datang teman Ryea?” Hydil memberikan isterinya itu pilihan. Ryea segera menggeleng. Dia tidak kisah jika berseorangan sekalipun. Tidak menjadi masalahnya.
“Lama ke abang pergi?” Soal Ryea, naif.
“Lama agaknya.. Ryea jangan tunggu abang.” Hydil sempat berpesan. Ryea mengangguk-angguk. Dan setelah bersiap ala kadar sahaja Hydil segera melangkah keluar. Sebelum itu dia sempat menghadiahkan ciuman pada dahi isterinya itu, lama.
****
SETELAH kelibat Hydil tidak kelihatan, Ryea mendekati semula almari itu. Perlahan-lahan dia membuka almari itu. Terdapat sebuah kotak di dalam almari itu. Dia mengeluarkan kotak itu dan membuka kotak tersebut.
Terdapat wang RM50 yang dilipat menjadi bentuk hati di dalam kotak itu. Ryea amat mengenali lipatan wang tersebut. Dia tersenyum. Sesuatu menarik perhatiannya! Ada sebuah catatan seperti sebuah notepad kecil. Ryea membuka satu persatu catatan tersebut.
Hari ini aku menerima satu berita buruk. Mungkin ini merupakan satu ujian dari ALLAH SWT untuk aku. Aku tahu DIA sedang mengujiku. Aku tidak mahu menghebahkan berita ini kepada sesiapa. Tidak kepada orang tuaku, dan tidak kepada isteriku. Biarlah aku pergi di dalam keadaan yang tenang nanti.
Tapi.. Sebelum aku pergi, aku mohon ya ALLAH.. Aku mohon supaya Engkau memberikan aku peluang untuk menunaikan janjiku itu. Janji yang pernah aku lafazkan pada Ryea Farhanah. Aku tidak mahu pergi dari dunia ini dengan janji yang tidak sempat aku tunaikan. Berilah aku peluang itu ya ALLAH..
Seandainya engkau memberikan aku peluang itu, aku pasti aku boleh pergi dari dunia ini dengan tenang. Aku pasti aku akan membuatkan Ryea bahagia walaupun aku telah tiada lagi di dunia ini kelak.
Semua terserah padaMu aku begini adanya. Dan jika orang yang mencintai aku tahu mengenai hal ini aku tahu pasti sulit bagi mereka. Aku bukan yang sempurna dari apa pun. Aku tak nak di kasihani. Walaupun aku patut menerimanya. Biarkanlah aku dengan semua ini. Kerana aku tahu aku tak layak untuk hidup lama di atas muka bumiMu ya ALLAH..
Ryea berhenti membaca. Airmatanya tanpa sedar mengalir laju. Dia mengeluarkan pula beberapa surat yang telah dilipat di dalam kotak itu. Sekali lagi dia terasa sesak! Hydil? Menghidap kanser darah? Mengapa selama ini dia tidak mengetahui hal ini? Mengapa?
Airmatanya laju mengalir tanpa henti. Patutlah Hydil bersungguh-sungguh. Adakah Faten tahu mengenai hal ini? Dan oleh sebab itu Faten mahu dia menerima Hydil sebagai suami? Begitu? Ya ALLAH… Ryea terasa bersalah. Terasa bersalah kerana selama ini dia menuding segala kesalahan kepada Hydil sedangkan Hydil berusaha bermati-matian untuk menunaikan janjinya.
Ketukan pintu yang bertalu-talu membuatkan Ryea segera bergegas ke tingkat bawah. Dia yang masih lagi sedang dilanda kesedihan itu melangkah pantas. Segera membuka pintu. Sebaik sahaja dia membuka pintu, dia mendapati Faten dalam keadaan basah kuyup memandangnya tanpa bicara. Hanya mata yang berbicara.
“A.. Abang… Abang accident!” Kata-kata Faten itu membuatkan Ryea mengigil. Entah bagaimana, dia pengsan!
****
RYEA membuka kelopak matanya dengan perlahan-lahan. Dia mendapati dia berada di atas katil. Dia memandang sekeliling. Dia mahu bangun dari katil tersebut tetapi dia segera ditahan oleh Faten. Ryea masih lagi berada di dalam keadaan yang lemah. Dua berita mengejutkan diterimanya serentak! Pada malam yang sama!
“Faten.. Saya kat mana sekarang ni?” Dengan perlahan Ryea bertanya. Faten menggengam erat jemari Ryea. Dia juga sedang dilanda kesedihan. Selama ini dia memendam rasa. Selama ini dia memendam rahsia yang begitu besar sekali.
“Ryea ada kat wad sekarang ni.. Ryea pengsan tadi,” lembut Faten memberitahu. Ryea memandang siling.
“Abang mana?” Hanya soalan itu yang bermain di fikirannya sejak dari tadi. Faten diam tidak berkata-kata. Dia tidak tahu hendak memberi jawapan yang sesuai kepada Ryea ketika ini. Keadaan Ryea juga tidak stabil ketika ini.
Ryea memandang Faten, memintanya menjelaskan hal yang sebenar. “Abang.. Abang sekarang ada dekat ICU.. Abang kehilangan banyak darah. Ditambah lagi dengan kanser darah yang dihidap oleh abang..” Faten akhirnya menangis. Dia sudah tidak mampu menahan perasaannya.
Ryea cuba mengawal rasa sedihnya. Meski begitu, airmatanya tetap mengalir tanpa henti. Ibarat empangan air yang sudah pecah! Ryea memandang Faten, tajam. ” Selama ni Faten tahu mengenai abangkan? Kenapa Faten tak pernah cerita pada saya? Kenapa Faten tak pernah cerita yang abang ada penyakit tu?”
Faten menggeleng. “Kalau saya beritahu Ryea pun, Ryea boleh buat apa? Penyakit abang tu bawa maut, Ryea! Jadi cara saya untuk bantu abang cuma satu.. Dengan bantu dia tunaikan janji dia pada awak dulu.. Salah ke cara saya ni?” Faten menekup wajahnya. Wajahnya kelihatan sembap.
Ryea memegang tangan madunya itu. Dia memandang wajah Faten seraya menggeleng. “Tak Faten, tak salah.. Tapi sekurang-kurangnya kita berdua boleh sama-sama usahakan cari penawar untuk penyakit abang..” Ryea mengeluh. Faten terdiam. Dia langsung tidak terfikirkan hal itu. Lagi pula, apa yang dia ketahui kanser darah sememangnya membawa maut dan amat payah sekali untuk ditemui penawarnya. Oleh sebab itu dia menemui jalan buntu.
“Tak apalah, kita sama-sama berdoa supaya abang tak apa-apa..” Ryea menahan sebak. Bibir Faten bergerak-gerak, seakan-akan mahu memberitahu sesuatu. Tetapi niatnya itu dikuncikan. Ryea dapat menangkap gerak bibir Faten itu, dengan segera dia bertanya.
Tetapi Faten bijak mengelak. Dia tidak mahu menceritakan segala-galanya. Biarlah perkara itu menjadi rahsia bagi dirinya. Belum sempat Ryea mendesak madunya itu membuka mulut sekali lagi, kelibat Puan Eimma kelihatan menghampiri mereka.
Langkah Puan Eimma terhuyung-hayang. Seakan sudah tiada tenaga lagi. Faten segera bangun dari kerusi dan bergegas mendekati ibu mertuanya itu. Puan Eimma menggeleng-geleng kepalanya. Dia memegang kepalanya dan mengucap panjang. Dengan tiba-tiba jantung Ryea berdegup kencang. Dia dapat merasakan sesuatu. Adakah….
“Ibu, kenapa ni ibu?” Fatin cuba bertanya.
Puan Eimma tidak dapat berkata-kata. Lidahnya kelu. Pahit sungguh kenyataan ini. Sukar sungguh untuk dia menerima kenyataan ini. Mengapa? Mengapa tiba-tiba? Mengapa semuanya berlaku sekelip mata? Puan Eimma akhirnya mencurahkan airmatanya yang sedari tadi bertakung sejak dia menunggu di luar wad ICU lagi.
Faten membantu ibu mertuanya menapak ke katil. Ryea juga sudah mula rasa lebih kuat. Mereka berdua memeluk Puan Eimma. Puan Eimma menarik nafas sedalam-dalamnya. “Faten, Ryea… Ibu nak kamu berdua terima semua ni..”
Faten dan Ryea berpandangan sesama sendiri. Mereka mengetap bibir. Walau pahit kenyataan ini, mereka harus menghadapinya dengan tenang. Mereka mengangguk-angguk. Bibir Puan Eimma kelu.
“Hydil… Hydil baru tinggalkan kita lima belas minit yang lepas…” Puan Eimma tidak dapat menahan kesedihannya. Airmatanya jatuh mencurah-curah bagaikan hujan yang turun. Sementara di luar pula, hujan turun dengan lebatnya. Seakan turut sama menangisi kesedihan yang dialami oleh seorang ibu.
Sementelah, Ryea dan Faten diam tidak bereaksi. Mereka kehilangan kata-kata. Mereka hanya diam. Lama mereka begitu, sehinggalah Puan Eimma memberitahu tentang hal itu sekali lagi. Kali ini, airmata Ryea turun tanpa henti. Begitu juga dengan Faten. Dalam sekelip mata, mereka kehilangan suami yang dicintai.
Dalam masa sehari sahaja, dia sudah menjadi balu! Ryea menangis semahunya. Jika diikutkan, mahu sahaja dia menamatkan riwayat hidupnya sekarang juga! Jika diikutkan, mahu sahaja dia mengikuti Hydil! Enam tahun dia menunggu lelaki itu, dan ketika mereka sudah sah menjadi suami isteri, lelaki itu pula pergi meninggalkannya? Di saat mereka mahu menyemai semula benih cinta mereka? Di saat mereka hendak melakar bahagia?
Ryea terduduk. Terngiang-ngiang senyuman suaminya dan juga kata-kata akhir sebelum suaminya itu keluar dari rumah.
“Jangan tunggu abang…” Kata-kata itulah yang membuatkan Ryea dilanda kesedihan. Dan aneh sekali apabila Hydil mencium dahinya lama. Seakan tidak mahu melepaskan lagi. Seakan tahu dia akan pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Dunia yang sementara.
Faten pula sudah tidak mampu mengeluarkan airmatanya. Matanya juga kelihatan bengkak kerana terlalu banyak mengeluarkan airmata. Dia pantas mendekati Ryea dan mengeluarkan sesuatu dari beg tangannya. Sekeping sampul surat. Adakah surat itu dari Hydil? Ryea tertanya-tanya.
“Ryea.. Saya harap kita dapat terima semua ni dengan tabah. ALLAH lebih sayangkan abang.. Kita berdoa supaya abang ditempatkan di dalam kalangan orang yang beriman..” Di dalam sendu, Faten mengucapkan. Ryea memandang wajah Faten itu dan sampul surat yang berada di dalam genggaman tangan Faten itu beralih tangan.
“Ini surat dari abang Hydil.. Abang ada pesan pada saya selepas Ryea dan abang sah jadi suami isteri semalam. Saya dah beritahu abang yang saya tahu segala-galanya tentang penyakit abang.. Dan abang minta saya rahsiakan.. Jadi, petang semalam.. Dia ada tulis surat ni.. Dia minta saya serahkan pada Ryea andai kata dia dah tak ada lagi nanti…” Faten melanjutkan kata-katanya.
****
Imbas kembali…
FATEN terdiam. Wajah suaminya itu dipandang sekali lalu. Dia tahu suaminya itu ingin mendengar penjelasan darinya. Hydil memegang tangan Faten dan sekali lagi memandang isterinya dengan renungan yang tajam.
“Abang tahu mesti Faten tahu sesuatu, kan?” Hydil cuba meneka. Faten menunduk ke bawah. Tidak berani bertentang mata dengan suaminya itu. Kenyataannya, dia memang mengetahui sesuatu.
Faten menggeleng. “Tak ada.. Tahu apa? Faten tak tahu apa-apa..” Faten berbohong. Hydil merapati Faten dan memegang kedua-dua pipi isterinya itu. Dia meminta isterinya itu memandang terus ke matanya. Faten cuba mengelak, tetapi dia gagal berbuat begitu. Tenaga lelaki Hydil lebih kuat darinya.
“Tengok abang.. Kalau Faten tahu mengenai abang.. Faten beritahu.. Faten nak tipu abang? Faten tak kesiankan abang?” Hydil mendesak. Faten menelan liur.Dia memegang keduua-dua tangan Hydil yang masih lagi berada di pipinya itu.
“Kenapa abang tak beritahu saya tentang ni? Kenapa abang sanggup rahsiakan semua ni?” Airmata Faten mengalir perlahan. Titisan itu mengalir ibarat mutiara. Hydil mengeluh. Airmata isterinya itu diseka lembut.
“Abang tak nak bebankan sesiapa. Abang tak nak susahkan hati sesiapa.. Ni semua salah abang.. Abang tak patut tinggalkan nota tu dalam almari..” Hydil mengeluh lagi. Faten menggengam jemari suaminya dengan erat.
“Abang tak salah.. Abang sepatutnya tahu yang ramai sayangkan abang. Abang sepatutnya tahu yang abang bukan keseorangan. Kami semua ada untuk abang. Macam mana kalau Ryea tahu tentang hal ni?” Faten menyuarakan kegelisahannya. Hydil menggeleng-geleng.
“Ryea takkan tahu tentang hal ni.. Faten kena pastikan Ryea tak tahu tentang semua ni.. Boleh? Janji dengan abang..” Hydil menghulurkan jari kelingkingnya untuk ditaut bersama dengan jari milik Faten. Faten terdiam.
Mampukah dia merahsiakan hal ini dari pengetahuan madunya itu? Mampukah dia terus mendiamkan diri tentang penyakit yang dihidapi oleh Hydil itu? Dan mampukah dia terus berpura-pura? Faten buntu.
“Faten? Janji ya?” Hydil bersuara lagi. Faten tersentak.
“Abang nak rahsiakan hal ni dari pengetahuan Ryea sampai bila abang?” Keluhan yang bertali arus dilepaskan. Hydil tersenyum manis.
“Sampai abang pergi menghadap ALLAH SWT..” Kata-kata Hydil itu membuatku jantung Faten tersentap! Sungguh, meskipun kematian itu merupakan satu kepastian bagi umat manusia tetapi Faten tidak mahu suaminya itu mengungkapkan tentang kematian. Dia tidak bersedia. Dia tidak bersedia kehilangan lelaki bernama Hydil Rafael itu!
Baginya, Hydil seorang lelaki yang baik.. Cuma.. Alangkah indahnya andai… Faten lantas membisukan dirinya. Diam lebih baik dari berbicara ketika ini. “Kenapa abang cakap macam tu? Abang tahu abang ada harapan sembuhkan?”
Hydil menggeleng. “Abang ada kurang dua bulan lagi.. Abang dapat tahu tentang penyakit abang ni pun baru bulan lepas. Dan sebab tu juga abang tekad nak cari Ryea. Abang tak nak abang mati dalam keadaan yang mengaibkan disebabkan abang tak tunaikan janji abang pada Ryea dulu..”
“Abang tak sangka Faten dapat tahu juga tentang hal ni, walaupun abang dah berusaha sembunyikan rahsia ni dari sesiapa. Patutlah senang aje Faten beri kebenaran pada abang untuk berkahwin lagi, kan? Kalau ikutkan, memang Faten tak izinkan abang berkahwin lagi.. Betul tak?” Hydil tersenyum manis. Faten mengangkat wajah. Dia memandang wajah suaminya itu, lelaki itu cuba mengawal kesedihannya. Lelaki itu cuba mengawal airmatanya dari tumpah.
Faten terus memeluk suaminya itu. Dia tahu pasti begitu perit penderitaan yang dialami oleh suaminya itu untuk merahsiakan hal ini. Dan dia tahu, pasti payah buat Hydil untuk menanggung kesakitannya itu seorang diri.
“Apa saja demi kebahagiaan abang.. Saya sanggup buat apa saja..” Ucap Faten, diiringi sendu. Hydil tersenyum, dia sudah tidak dapat menampung airmatanya yang sudah kian bertakung sedari tadi itu.
Airmata lelakinya itu akhirnya tumpah juga. Membasahi pipi. Hydil mencium dahi isterinya. “Terima kasih Faten.. Terima kasih sebab memahami abang.. Abang sayangkan Faten..”
“Abang nak Faten serahkan surat ni kepada Ryea bila abang dah tak ada lagi.. Abang terfikir untuk minta bantuan kawan abang.. Tapi memandangkan Faten dah tahu, abang minta tolong Faten ya? Tolong serahkan surat ni pada Ryea bila abang dah tak ada lagi..” Airmata Hydil menitis lagi.
****
Langit begitu gelap, hujan juga tak kunjung reda
Ku harus menyaksikan cintaku terenggut tak terselamatkan
Ingin ku ulang hari, ingin ku perbaiki
Kau salah,kau kubutuhkan
Beraninya kau pergi dan tak kembali
Dimana letak surga itu
Biar kugantikan tempatmu denganku
Adakah tanda surga itu
Biar kutemukan untuk bersamamu
Kubiarkan senangku menari di udara
Biar semua tahu kematian tak mengakhiri
cinta..
Apalah artinya hidup tanpa kekasihku
Percuma bila aku disini sendiri
Kekasihku, bersamamu
RYEA hanya membatukan dirinya. Cerita yang disampaikan oleh Faten sebentar tadi benar-benar mengguris jiwanya. Ternyata selama ini Hydil cuba menjejaki dirinya. Bahkan Hydil tidak pernah melupakannya walau sedetik pun. Selama ini dia menyangka lelaki itu sudah melupakannya. Selama ini dia menyangka lelaki itu melupakan janjinya. Tetapi.. Lelaki itu sanggup melakukan apa sahaja demi mematuhi janjinya. Ryea terasa sebak.
“Ryea.. Abang memang sangat sayangkan Ryea. Disebabkan dia tak sanggup nak mungkiri janji dia pada Ryea, dia belum pernah sentuh saya sampai sekarang..” Ryea mengangkat wajahnya. Dia seakan tidak mempercayai kata-kata Faten itu. Adakah Faten sekadar mereka cerita?
Faten mengangguk. “Betul.. Abang Hydil tak pernah sentuh saya.. Dia kahwin dengan saya sebab dia nak jaga saya. Walaupun sebenarnya dia cuba belajar mencintai saya, tetapi dia gagal. Dia gagal membuang bayangan Ryea dalam hati dia.. Abang Hydil cuma anggap saya sebagai adiknya selama ni.. Tak lebih dari tu..”
Ryea menangis lagi. Sehingga sebegitu sekali kesetiaan Hydil padanya. Dia tidak menyangka Hydil setia terhadapnya sehingga tidak melaksanakan tanggungjawabnya sebagai suami terhadap Faten. Ryea berasakan dunianya sudah haru-biru. Mengapa?
Mengapa baru sekarang ini dia mengetahui segalanya? Mengapa baru sekarang dia mengetahui kesetiaan suaminya itu? Mengapa baru sekarang? Ketika suaminya itu sudah tiada lagi di dunia ini. Ketika rohnya sudah terpisah dari jasad. Segala penyesalan sudah tidak bermakna lagi. Yang tinggal kini hanyalah jasad suaminya sahaja, yang tidak lama lagi akan dimandikan, dikapankan, disolatkan dan dikebumikan.
Hujan masih lagi turun membasahi bumi. Hujan masih lagi lebat di luar sana. Sementelah Ryea sudah tidak bermaya. Begitu juga dengan Faten, tetapi Faten lebih kuat. Dia dapat menerima kenyataan ini kerana dia tahu setiap yang bernyawa di atas muka bumi ini adalah milik yang Esa. Milik ALLAH SWT. Lantas, apa hak yang ada pada manusia untuk mempertikaikan tentang qada dan qadar yang telah ditentukan olehNya?
Ryea mengeluarkan telefon bimbitnya, gambar milik suaminya itu ditatap lama. Senyuman yang manis seolah-olah dihadiahkan hanya buatnya seorang. Benar. Ternyata cinta yang ada di dalam hati Hydil itu hanya buatnya seorang. Tidak ada buat yang lain.
Derai airmatanya membasuh hati dan dia begitu terluka saat Hydil meninggalkannya. Cinta putih yang diberikan oleh suaminya itu tidak sempat diungkapkan. Mengisi kehampaan hatinya sendiri. Dia.. Menangisi kepergian Hydil, dengan rela.
Ryea membuka sampul surat tersebut. Dia menggigil ketika mengeluarkan isi surat tersebut. Sekeping gambar suaminya yang sedang tersenyum turut terselit di dalam sampul surat tersebut.
Assalamualaikum buat isteri abang yang disayangi.. Abang tak ada banyak masa untuk tuliskan surat yang puitis dan romantik untuk isteri abang. Abang cuma mampu tuliskan apa yang abang rasa dari hati. Maafkan abang kalau surat ni nanti buatkan Ryea benci abang.. ;)
Selama enam tahun abang cuba jadi lelaki setia, hanya untuk wanita kesayangan abang. Selama enam tahun juga abang cuba mengenali diri abang sendiri. Abang tanya diri abang.. Siapa yang abang sayang? Siapa yang abang cinta.. Dan selama enam tahun itu, hanya ada satu nama yang bermain di dalam hati abang.. Hanya ada satu nama dalam hati abang.. Ryea Farhanah..
Enam tahun lalu, Ryea masih ingatkan? Ryea masih ingat abang pernah beri Ryea jam. Abang kata abang nak gari tangan Ryea dan abang nak gari hati Ryea. Memang waktu tu abang terlalu takut. Abang takut abang akan kehilangan Ryea. Abang takut Ryea berpaling tadah. Abang takut Ryea lupakan. Enam tahun Ryea, enam tahun.. Banyak benda boleh berlaku dalam enam tahun tu, dan tak mustahil Ryea boleh berkahwin dengan orang lain disebabkan janji kita hanya pada mulut, tak ada hitam putih. Dan sebab tu abang takut. Tapi abang percaya.. Abang percaya pada Ryea. Abang percaya Ryea akan setia pada abang. Abang percaya Ryea tak semudahnya lupakan abang. Agak-agaknya Ryea macam tu juga ke? Ryea percaya tak pada abang? Ryea rasa abang masih ingat janji abang pada Ryea tak?
Airmata Ryea menitis lagi. Begitu besar sekali kepercayaan Hydil padanya. Lelaki itu begitu mempercayainya. Sedangkan dia? Dia menuduh lelaki itu mendustai janji mereka saat terpandang lelaki itu bersama dengan Faten dahulu. Rasa sendu itu masih berbalas, sehingga kini. Menghantui jiwa sehingga sekarang. Ryea kembali membaca surat tersebut. Dia tidak mampu hendak meneruskan pembacaannya. Emosinya goyah.
Ryea, abang nak Ryea ingat sampai bila-bila yang abang cintakan Ryea. Abang sayangkan Ryea. Dalam hati abang, abang tak pernah lupakan Ryea. Dan abang berkahwin dengan Faten bukan sebab abang lupa pada Ryea. Abang mahu tolong Faten. Tapi percayalah, abang cuma anggap Faten sebagai adik abang. Tak lebih dari tu.. Alhamdullilah, Faten faham. Dan dia tak pernah mendesak abang untuk terima dia seadanya.
Ryea, seandainya abang dah sakitkan hati Ryea. Abang dah lukakan hati Ryea selama abang bernafas di atas bumi ALLAH ini, abang harap sangat Ryea boleh maafkan abang. Abang harap sangat yang Ryea akan ingat pengorbanan abang yang sanggup tunggu Ryea terima semula abang dalam hidup Ryea sampai basah lencun baju abang. ;) Ryea ingatkan? Abang tahu, waktu tu Ryea kecewa dengan abang. Tapi abang lagi kecewa bila tahu Ryea kecewa.. Kebahagiaan abang, kebahagiaan Ryea. Dan kekecewaan Ryea , kekecewaan abang. Ryea fahamkan maksud abang?
Dan sekarang ni, janji yang kita lafazkan dah sempurna. Bersaksikan bumi dan tujuh petala langit tinggi.. Abang pasti akan merasai cinta yang suci dari Ryea. Ryea kena tahu yang Ryealah rohani abang yang mengalir di dalam jiwa. Dan Ryea juga Nur yang berkilauan bercahaya. Setiap nafas yang abang hela, hanya nama Ryea abang sebut. Cuma Ryea yang satu. Ujian yang terbentang buat abang ni, abang sanggup hadapi. Yang penting abang dan Ryea disatukan.
Setiap hari abang cari, dan setiap hari abang tanya.. Cuma nama Ryea yang abang sebut. Bila abang tidur, cuma ada Ryea. Bila abang bangun, cuma ada Ryea. Itu yang abang harapkan selama ini. Itu kasih yang abang harapkan selama ini. Kini, Ryea abang dah miliki. Nama, rupa dan cara.. Bersatu jasad, dan nyawa, kita serupa. ;) Kalau Ryea dengar lagu Samudera-Silaturahim, Ryea akan tahu perasaan sayang abang pada Ryea. Dan kalau Ryea nak tahu betapa tingginya nilai cinta abang pada Ryea, abang sarankan Ryea hayati lirik Sampai Menutup Mata.. Ryea tahu lagu tu kan? Kita selalu nyanyi sama-sama dulu.. Supaya lagu tu jadi peneman Ryea nanti.
Ryea, kalau abang tahu bila malaikat Izrail akan ambil nyawa abang.. Abang pasti akan mohon pada ALLAH supaya dipanjangkan lagi umur abang ni. Abang mohon supaya abang mendapat satu lagi peluang untuk bahagiakan Ryea. Sekurang-kurangnya untuk beberapa tahun lagi.. Sampailah kita ada cahaya mata. Ryea tak mahu ke semua tu? Itulah yang abang idamkan sejak dulu.
Hanya itu saja yang abang nak katakan pada Ryea. Semoga Ryea tak lupakan abang, walaupun kematian memisahkan kita. Abang nak Ryea tahu yang abang cintakan Ryea sangat-sangat. Kasih Ryea tak akan dapat abang cari ganti. Semoga kita bertemu di sana nanti.. InsyaALLAH..
Salam terakhir dari suamimu,
Hydil Rafael.
Surat yang dibaca olehnya itu akhirnya terlepas dari tangan. Ryea meraung seolah-olah telah hilang segala-galanya. Melihat keadaan menantunya itu, Puan Eimma segera mendekati Ryea. Dia tahu, kesedihan yang dialami Ryea itu amat perit. Tetapi sebagai ibu, dia juga terasa kesedihan itu.
“Ryea.. Ryea kena relakan walaupun payah rela. Kita bersabar ya..” Puan Eimma memeluk menantunya itu. Ryea menangis tersedu-sedan.
Kisah cintanya berakhir begitu sahaja. Kasih yang diharapkannya selama ini akhirnya berakhir seperti ini. Benarlah apa yang Hydil katakan dahulu. Tiada sesiapa dapat memisahkan mereka berdua.. Hanya ALLAH SWT sahaja yang mampu memisahkan mereka. Kematian satu kepastian. Cinta Hydil buatnya dibawa hingga ke liang lahad.
Allah berfirman lagi: “Di bumi itu kamu hidup dan situ juga kamu mati, dan daripadanya pula kamu akan dikeluarkan (dibangkitkan hidup semula pada hari kiamat)”.~ Al-A’raaf 7:25
TAMAT
Cinta itu tidak selalu berakhir dengan bahagia. Kadangkala kita menerima derita disaat mulai merasai bahagia. Namun itulah realiti di dalam percintaan. Tidak selalunya indah. J Terima kasih sudi membaca hingga ke hujung cerita. Sebarang kemusykilan mengenai cerpen ini, boleh ditanya melalui akaun Twitter saya. : @LeAlterEgo ~Wazrul Shah

 
-Jack- di ambil dari :